Siedoo, Memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi, serta lahan pertanian yang subur, belum cukup untuk memastikan Indonesia merdeka secara pangan. Banyak sekali bahan pangan yang seharusnya dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Namun, pada kenyataannya justru didatangkan dari luar (impor). Contohnya saja seperti garam, kedelai, beras, dan lain sebagainya.
Keterbatasan lahan pertanian yang disebabkan karena maraknya alih fungsi lahan, perubahan iklim, pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan penurunan sumber daya petani, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, seperti kurangnya kapasitas petani dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di lapangan, menjadi tantangan Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kedaulatan pangannya.
Sektor pertanian membutuhkan sumberdaya manusia dengan kapasitas dan kapabilitas yang mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Namun demikian, Adomi (2003) menemukan bahwa, petani di pedesaan cenderung lemah dalam menyadari kebutuhan informasi.
Secara spesifik terkait dengan akses kebutuhan saprodi, akses informasi pasar, informasi pascapanen dan informasi lainnya.
Seringkali petani tidak dapat berbuat banyak, ketika gagal panen terjadi atau nilai jual hasil pertanian sangat rendah. Yang lebih parahnya, petani seringkali mengulangi kesalahan yang sama, karena tidak benar-benar memahami apa akar permasalahan yang menyebabkan gagal panen atau nilai jual hasil pertanian yang rendah. Petani belum terbiasa mencari informasi dari luar, terkait permasalahan yang dialami guna menemukan pemecahan masalah.
Selain itu, petani juga belum terbiasa mencatat setiap hal yang dilakukan atau dialami selama melakukan kegiatan pertanian. Seperti kapan saja periode tanam sampai panen dari setiap varietas yang ditanam, kondisi alam pada saat periode tanam sampai panen, masalah apa saja yang dihadapi, tinggi rendahnya harga jual saat panen dan sebagainya.
Oleh karena itu, petani perlu melakukan literasi, salah satunya literasi informasi. Literasi sendiri berasal dari bahasa latin, literatus yang berarti “a learned person” atau orang yang belajar. Sedangkan menurut National Institute for Literacy, Literasi adalah “Kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.”
Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini, terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
Selanjutnya, literasi informasi menurut Hasugian (2008) adalah bagian dari kegiatan pemberdayaan masyarakat di bidang informasi. Literasi informasi merupakan kemampuan mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif. Pada dasarnya literasi informasi bukan kemampuan atau keterampilan baru, namun pada era keterbukaan informasi, literasi informasi merupakan tuntutan keterampilan yang harus dimiliki.
Keluasan informasi pertanian yang ada, melalui berbagai macam media, mulai dari media interpersonal, media kelompok, media massa, media sosial. Bahkan media baru platform perlu sejajar dengan kemampuan petani dalam mengakses informasi tersebut, agar muncul peningkatan kapasitas dan kapabilitasnya dalam berusaha tani.
Literasi informasi pertanian perlu ditanamkan oleh para pemangku kepentingan sektor pertanian. Seperti peneliti, pembuat kebijakan, penyuluh dan lainnya (Sokoyo dkk, 2014) karena kecepatan dan kemudahan memperoleh informasi oleh petani hanya akan diperoleh jika petani sadar. Bahwa, mereka secara mandiri adalah pencari informasi yang diharapkan memiliki kompetensi dalam literasi informasi.
Ketika petani aktif melakukan literasi informasi, petani dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam bidang pertanian. Dapat menemukan berbagai inovasi untuk mengoptimalkan produksi dan pengolahan hasil pertanian. Serta, strategi-strategi pemasaran tertentu untuk meningkatkan nilai jualnya. Hal ini sangat berguna bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan pemerataannya ke seluruh wilayah Indonesia.
*Penulis Erna Setyawati
Alumni Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (SM3T).