YOGYAKARTA – Nilai-nilai religiusitas dan humanitas yang terdapat dalam teks sastra menjadi penting dan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan karakter bangsa, yang terdiri dari 4 langkah. Yaitu, membaca cerita rakyat, mengenalkan tokoh-tokoh yang sudah ditulis dalam bentuk biografi dan autobiografinya, membaca karya sastra yang merekam kehidupan sehari-hari dalam feature kisah atau cerita pendek. Dan, membaca teks sastra sesuai dengan konteks budayanya.
Jika sastra dianggap penting, sederajat dengan kedudukan bahasa Indonesia, perlu ada upaya pendidikan sedemikian rupa agar setiap anak Indonesia mengenal sastra nasionalnya dengan baik. Melalui politik pendidikan kesastraan, diharapkan bangsa Indonesia mampu memahami kebudayaan dan pikiran bangsanya.
Mampu berkepribadian Indonesia dan menghargai karya-karya kemanusiaan bangsa lain melalui penerjemahan karya sastra.
“Sastra akan mampu memberikan pencerahan manakala pembaca mendapatkan kemanfaatan dengan memahami ekspresi para tokoh, latar yang digambarkan, jalan cerita, dan tema yang ditulis pengarangnya,” kata Prof. Dr. Suroso, M.Pd dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Sastra Indonesia pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Pidato berjudul Religiusitas dan Humanitas dalam Sastra Indonesia Modern itu dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY. Suroso adalah guru besar UNY ke-135 dan Guru Besar FBS ke-28. Pria kelahiran Kediri, 30 Juni 1960 tersebut mengatakan, selain menyampaikan ide dan persoalan yang terjadi di masyarakat, sastra juga menyampaikan pesan dengan media bahasa.
“Secara tidak langsung melalui tindakan, peristiwa yang dialami tokoh, penggambaran latar atau suasana dan jalan cerita,” jelasnya.
Menurut dia, paradigma sastra yang berbeda dengan agama, filsafat, dan sejarah, sehingga dalam mempelajari dan menyikapi sastra berbeda srategi. Khususnya dalam menangkap pesan yang ada di dalamnya. Sastra bukan filsafat mengenai dikotomi benar salah, baik buruk, indah dan jelek.
Sastra bukan pula sejarah yang berbicara tentang fakta masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Sastra bersifat imajinatif. Oleh karena itu, pembaca dipersilakan berimajinasi atas berbagai informasi dalam teks sastra. Namun demikian, karya sastra juga memenuhi prinsip unsur kemasukakalan (plausibility), keutuhan (Unity), keseimbangan (balance), kebaruan (Novelty).
“Sastra juga memiliki kemanfaatan (utile) dan kesenangan (dulce),” ungkapnya.
Warga Candi Gebang, Wedomartani, Ngemplak, Sleman menyampaikan itu menjelaskan, sastra disampaikan dalam bahasa yang padat makna berupa puisi, dalam paparan wacana yang panjang dalam bentuk novel, dan dalam paparan dialog. Serta petunjuk lakuan dalam bentuk drama.
“Orang yang memiliki kesenangan dan kemampuan membaca sastra akan memiliki kecerdasan yang lebih atas perilaku manusia, pemahaman tempat, peristiwa, dan persoalan yang dihadapi manusia” papar Suroso.
Sastra yang bersumber dari kehidupan manusia, mengandung nilai religiusitas, nilai humanitas, dan universalitas. Persoalan sejarah, ketidakadilan, kejujuran, cinta kasih, pengorbanan, lingkungan hidup dan kemakmuran, yang melekat dari tokoh sastra dan peristiwanya menjadi pesan yang tidak terelakkan dalam wacana sastra.
Doktor bidang pendidikan bahasa UNJ tersebut menyitir ucapan Mangunwijaya, yang menyatakan bahwa pada mulanya karya sastra adalah religius.
“Manusia religius adalah manusia berhati nurani serius, taat, saleh dan teliti dalam petimbangan batin” katanya.
Orang yang memiliki nilai religiusitas dan humanitas, tidak melakukan tindakan tercela. Sastra, walaupun secara tidak langsung dapat membentengi kegiatan amoral, namun juga menyampaikan nilai-nilai religiusitas dan humanitas. Sastra memberi pencerahan (insight) melalui tokoh, peristiwa, persoalan, dan latar religi dan budaya.
Namun, keputusan mengambil hikmah dari tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra tergantung dari pembacanya. Hal ini karena sastra bukan filter untuk memilah mana yang benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas, namun sastra menyampaikan fakta imajinatif.
“Walaupun disampaikan fakta-fakta sejarah, sosial budaya, psikologi, tetap saja dalam bingkai imajinasi dan pemaknaan ada dalam benak pembaca,” tandasnya.