BANDUNG – Lembaga praperadilan saat ini dijadikan “pelarian” bagi para pejabat negara untuk memperoleh kepastian hukum secara cepat. Apakah dia bersalah atau tidak walaupun berdasarkan kewenangan baik secara atribusi dan derivasi praperadilan tidak memiliki kewenangan itu.
“Oleh karena itu Forum Privilegiatum yang khusus untuk mengadili para pejabat negara ini harus segera dibuat. Agar jelas legalitasnya dan tidak menjadi polemik serta perdebatan akademik lagi,” ujar Prof. Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum saat membacakan orasi ilmiah berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Jawa Barat.
Orasi ilmiah tersebut berjudul “Forum Privilegiatum dalam Hukum Pemerintahan”. Urgensi dan eksistensi Forum Privilegiatum ini juga untuk menjawab keterkaitan isu korupsi, yang seringkali menjadi jebakan bagi pejabat pemerintahan yang melakukan diskresi. Itu ketika menghadapi masalah yang harus direspons secara cepat (extra ordinary).
Dengan demikian, timbul ketakutan untuk mengambil keputusan atas persoalan yang mendesak dan harus segera diselesaikan. Di kemudian hari mereka bisa dipermasalahkan dan dituduh melakukan korupsi yang dikarenakan arti dari korupsi bisa menimbulkan multi tafsir terhadap tindakan diskresi yang dilakukan pejabat publik.
Prof. Nandang menyampaikan bahwa, eksistensi Forum Privilegiatum —hak khusus pejabat tinggi untuk diadili pada pengadilan khusus— pada hukum pemerintahan di Indonesia menjadi conditio sine qua non. Atau tidak terelakkan dalam menghadapi beratnya penanganan kasus korupsi, dan sebagai sarana pertanggungjawaban negara in casu para pejabat negara. Dengan demikian, diharapkan konsep pemerintahan bersih akan tercapai.
Ia menjelaskan bahwa Forum Privilegiatum adalah suatu sistem peradilan. Baik itu dari segi penyelenggaraan peradilan maupun sebagai proses mengadili. Ia menggagas adanya Forum Privilegiatum dalam Hukum Tata Pemerintahan.
“Diantaranya untuk memeriksa pejabat negara apakah telah melanggar hukum tata pemerintahan atau hukum lain, baik pidana maupun perdata,” ungkapnya.
Lebih lanjut Prof. Nandang menyampaikan bahwa Extra Ordinary Discretion (EOD) belum diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014. Menurut Prof. Nandang, prosedur bisa dikesampingkan asalkan tetap dalam kerangka kewenangan pejabat yang bersangkutan dan substansinya tidak ada penyalahgunaan wewenang. Serta, substansinya bermanfaat bagi orang banyak.
“Untuk mengujinya apakah EOD ini melenceng dilakukan secara Forum Privilegiatum di Mahkamah Agung,” urai dia.
Untuk mengakomodir gagasan ini bisa merevisi UUAP atau UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang memberikan kewenangan kepada MA mengadili untuk yang pertama. Dan, terakhir pejabat negara karena dianggap telah penyalahgunakan wewenang.
“Baik baik onrechtmatige overheidsdaad maupun detournement de papour/wilekeu,” ujar dia.