SURABAYA – Pembangkitan Jawa Bali (PJB) merupakan sebuah anak perusahaan Pembangkit Listrik Negara (PLN), produsen listrik yang menyuplai kebutuhan listrik di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Saat ini PT PJB mengelola enam Pembangkit Tenaga Listrik di Pulau Jawa. Dengan kapasitas total 6.511 Megawatt dengan total listrik yang telah dikelola sebesar 20.941 Megawatt.
“PT PJB mendukung penuh realisasi net zero emission melalui co-firing PLTU,” kata Teguh Widjayanto MT sebagai perwakilan dari PT PJB saat diskusi online.
Ia menyampaikan itu saat Tim Pengabdian Masyarakat (Abmas) Pusat Kebijakan Publik, Bisnis dan Industri (PKPBI) ITS menggelar Focus Group Discussion (FGD) secara daring untuk memberikan masukan sekaligus bertukar pikiran terkait co-firing PLTU yang akan memanfaatkan potensi bambu. FGD ini bekerja sama dengan PT PJB, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur.
Diskusi ini memusatkan perhatian pada peran perguruan tinggi dalam mendukung realisasi pemerintah dalam menjalankan NDC melalui co-firing biomassa pada PLTU batubara. Menghadirkan penyaji antara lain Teguh Widjayanto MT sebagai perwakilan dari PT PJB, peneliti BPPT RI Ir Rohmadi Ridlo MEng, dan perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur Ir Toat Tridjono MSi.
Selain itu, sebagai penanggap dihadirkan dosen Teknik Mesin ITS Ary Bachtiar PhD dan dosen Teknik Lingkungan ITS IIDA Warmadewanthi PhD.
Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan program penurunan emisi di subsektor pembangkitan tenaga listrik dengan menghentikan pengoperasian PLTU batubara sebesar 53 GW antara tahun 2025-2045.
“Dari sinilah terlintas ide dan masukan untuk menggunakan potensi bambu dalam mendukung co-firing PLTU,” jelas Teguh.
Hingga akhir tahun 2019, persebaran Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 9,15 persen, di mana 6,2 persen berasal dari PLT EBT dan 2,95 persen berasal dari BBN (biodiesel). Sementara, pada tahun 2025 persebaran EBT ditargetkan 23 persen, di mana PLT EBT ditargetkan memberikan porsi sebesar 13-15 persen, PLT Bioenergi 2-5 persen, dan BBN 2-3 persen.
Pengembangan biomassa yang akan dioptimalkan antara lain bersumber dari pohon bambu yang merupakan bagian dari tanaman energi. “Kita akan upayakan untuk bisa melakukan co-firing dengan biomassa pada pembangkit di PLTU dan mudah-mudahan bisa kita kejar target paling tidak 1-3 persen di tahun 2025,” tutur Teguh.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mendukung realisasi net zero emission yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) melalui co-firing PLTU. Sementara Rohmadi Ridlo mengungkapkan, co-firing ini digunakan sebagai substitusi batubara dengan biomassa pada rasio tertentu sebagai bahan bakar dengan tetap memperhatikan kualitas dan efisiensi pembangkit listrik.
Di berbagai negara, khususnya yang menetapkan kebijakan pemanfaatan EBT yang lebih optimal, teknik ini digunakan untuk mengurangi penggunaan energi fosil, serta mendukung kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Dipaparkan peneliti yang akrab disapa Ridlo ini, untuk menunjang penerapan co-firing salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menyiapkan ketersediaan sumber daya biomassa dalam jumlah besar. Biomassa yang cukup potensial di Indonesia adalah bambu.
Namun, masih perlu dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai potensi bambu untuk mendukung co-firing pada Pembangkit Listrik Jawa Bali di pantai utara (Pantura). Keberadaan ITS sebagai perguruan tinggi paling inovatif di Indonesia, diharapkan dapat menjadi pelecut bagi perguruan tinggi lain untuk terus melakukan riset dan inovasi demi kemajuan bangsa.
Pada akhir pemaparan, IIDA Warmadewanthi PhD selaku perwakilan dari ITS mengatakan bahwa luaran dari FGD ini akan diterjemahkan sebagai respon perguruan tinggi dalam menjamin keberlanjutan FGD.
“Melalui laporan serta dokumentasi dan akan dipublikasikan dalam jurnal untuk dapat dijadikan salah satu referensi dalam menentukan kebijakan, khususnya dalam penerapan co-firing,” jelasnya. (Siedoo)