SURABAYA – Biaya produksi pangan di Indonesia sangat tinggi karena mutu tanahnya mengalami degradasi. Tanah yang subur harus memiliki pH netral dan nilai C organik di angka 4 persen.
“Langkah awal yang harus dilakukan oleh petani adalah menetralisir pH tanah menggunakan dolomit setiap tahunnya,” kata Wayan Supadno, praktisi yang menekuni bidang remediasi lahan.
Ia menyatakan itu saat Pusat Kajian Kebijakan Publik (PKKP) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur menggelar Public Expose Rekomendasi Kebijakan Publik secara daring. Agenda ini bertujuan untuk mendukung bangkitnya kemandirian ekonomi nasional. Rekomendasi kebijakan ini mengangkat tiga tema strategis, yaitu Teknologi Remediasi Lahan untuk Ketahanan Pangan, Teknologi 5G untuk Revitalisasi Manufaktur, serta Implementasi Kampus Merdeka Speed Up ABGS++.
Setelah menetralisir pH tanah itu, upaya lain yang dilakukan adalah penambahan sumber C organik dan biang mikroba untuk meningkatkan urea, nitrogen. Serta melarutkan fosfat kalium dan pestisida, seperti mikroba pseudomonas dan basilus.
“Pencerdasan petani sangat diperlukan melalui regulasi yang berlaku dalam skala nasional,” ujarnya.
Membuka diskusi tema Remediasi Lahan untuk Ketahanan Pangan, anggota tim riset PKKP ITS Dr Nurul Jadid SSi MSc mengungkapkan, permasalahan pangan di Indonesia secara garis besar disebabkan oleh tiga hal. Yaitu pencemaran pupuk kimia, pencemaran logam berat, dan perubahan iklim.
Berdasarkan data PKKP ITS per tahun 2018, setidaknya ada 28,5 juta hektare lahan yang terdampak dan tidak produktif bagi produksi pangan Indonesia. Sebagai akademisi, Nurul menekankan bahwa perguruan tinggi seharusnya berperan untuk melakukan pemetaan terkait pengawasan lahan pertanian secara realtime dan berkelanjutan.
“Dapat dibangun pusat riset aplikatif untuk rehabilitasi lahan, pengembangan pupuk hayati, serta eksplorasi mikroba lokal,” terang dosen Departemen Biologi ITS ini.
Memasuki tema kedua terkait 5G untuk Revitalisasi Manufaktur, Direktur Utama PT Barata Indonesia Fajar Harry Sampurno membacakan bahwa sampai pada tahun 2020, sektor manufaktur menempati 19 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Apabila dihitung, nilai tambah yang dihasilkan sektor manufaktur bisa mencapai Rp 2.800 triliun.
“Oleh karena itu, kita harus mengawal dan mengantisipasi kebijakan pemerintah terkait pemanfaatan 5G di Indonesia,” tandasnya mengingatkan.
Ia menyebut, 5G bukan hanya untuk telekomunikasi, tetapi jaringan ini memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memonitor sistem hingga penggunaan Big Data bagi industri ke depannya. 5G dapat berlaku sebagai software yang mengolah informasi mentah menjadi informasi yang berguna.
Namun, pemanfaatannya secara lebih jauh masih diduga-duga. Sehingga butuh pemetaan terkait jenis manufaktur di Indonesia yang membutuhkan teknologi 5G guna memberikan solusi pada proses operasional harian.
Terakhir, tema ketiga dibawakan oleh tim riset PKKP ITS Gogor Arif Hadiwibowo ST MMT terkait Kampus Merdeka Speed Up ABGS++. Dalam usulan rekomendasi ini, menurut Gogor, Kampus Merdeka Speed Up ABGS++ memerlukan platform basis data berbasis Artificial Intelligence (AI) yang difungsikan untuk menjembatani proses kolaborasi antarkampus maupun industri.
Salah satu pengimplementasian platform Kampus Merdeka Speed Up ABGS++ ini adalah dalam proses magang. Berdasarkan pengalaman yang terjadi, proses magang dianggap cukup rumit, baik bagi pihak perusahaan maupun perguruan tinggi.
“Dengan Speed Up ABGS++, rekaman perkembangan mahasiswa selama magang dapat tercatat serta sistem konversi dan pemetaan minat mahasiswa dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat,” paparnya.
Menutup diskusi terkait rekomendasi kebijakan publik tersebut, Ketua PKKP ITS Dr Ir Arman Hakim Nasution MEng mengingatkan kembali bahwa hasil pemikiran yang sudah disebutkan akan disempurnakan dan diserahkan kepada Kementerian Koordinator Perekonomian, Tim Kepresidenan, dan DPR.
“Semoga hasil pemikiran kami dapat menjadi arahan bagi regulator untuk membuat kebijakan bagi kemajuan bangsa,” tandasnya. (Siedoo)