Siedoo, Sastra profetik merupakan sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Selain itu sastra profetik adalah hasil renungan realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis.
Melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas. Serta diharapkan mampu menjadi arus intelektual terhormat dan menjadi sistem simbol yang fungsional.
“Teks sastra merupakan salah satu wujud nyata budaya literer artistik tersebut. Sebagai salah satu cabang kesenian, sastra sudah ada dalam perjalanan peradaban manusia,” kata Prof. Dr. Anwar Efendi, M.Si. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sastra dan Bahasa Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Pidato berjudul ‘Sastra Profetik di Era Teknologi dan Kelimpahan Informasi’ tersebut dibacakan di hadapan rapat terbuka Senat di Auditorium UNY.
Ia menyampaikan bahwa pendidikan, pengenalan, dan pemahaman terhadap sastra akan dapat memperkaya manusia dalam dialog yang terus menerus dengan dunia sesama, yakni dunia manusia dan kemanusiaan. Dengan demikian akan terjadi keseimbangan antara dimensi jasmaniah dan rohaniah dalam diri manusia.
“Nilai-nilai dalam sastra dapat mengarahkan kita menjadi manusia yang tertib dalam hidup, cerdas dalam berpikir, lembut hati dalam bertindak, tajam dalam perasaan, dan peka dalam rohani,” jelasnya
Pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai dalam sastra dapat mengarah pada tercapainya kondisi homo humnus. Yakni manusia yang mempunyai jiwa halus, manusia yang berbudaya, manusia yang berakhlak mulia di samping tetap mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal tersebut pada akhirnya akan dapat memperkaya batin dan jiwa.
“Sehingga mampu berinteraksi secara horisontal dengan lingkungan dan sesama manusia dan interaksi secara vertikal dengan Sang Pencipta. Sastra yang mengusung semangat profetik menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut,” beber Doktor Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang ini.
Kemajuan teknologi yang direpresentasikan melalui budaya digital dengan berbagai peranti audio-visual diakui telah membawa keberuntungan dalam berbagai aspek kehidupan. Segala urusan dan kebutuhan manusia dapat dijalankan dengan lebih efektif dan efisien dengan jangkauan yang luas dan kecepatan yang masif.
“Capaian di bidang teknologi yang menghasilkan berbagai peranti dan perkakas canggih telah membuat kehidupan menjadi mudah,” urainya.
Akan tetapi, ada hal perlu diwaspadai dengan segala kemudahan hidup melalui kecanggihan peranti tersebut. Perwujudan “ruang baru” yang dihadirkan oleh kecanggihan multi-peranti dapat menyebabkan tindakan dan perilaku manusia terkotak-kotak dan terpusatkan dalam ruang simulasi (maya). Akibatnya, manusia menjadi terlempar dari ruang konkret dalam kehidupan sehari-hari karena hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk memandangi “layar” produk peranti canggih.
Akibat dari semua itu, terciptalah rasa asing terhadap diri sendiri, alam, masyarakat, dan bahkan dengan Tuhan. Merujuk kondisi tersebut, permasalahan terpenting saat ini adalah bagaimana membentuk kembali manusia yang telah terpecah-pecah tersebut.
Ia mengatakan, di tengah lajunya perkembangan teknologi saat ini, keberadaan karya sastra religius, termasuk sastra profetik, terasa penting untuk diaktualisasikan. Keberadaan sastra profetik dapat dijadikan sebagai refleksi estetis bagi manusia untuk membangun kembali aspek-aspek religius, transendensi, dan spiritualitas dalam lingkungan individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
“Sastra profetik memiliki keniscayaan kultural untuk membebaskan jiwa manusia dari kemiskinan spiritual,” ungkapnya.
Warga Griya Purwa Asri Purwomartani, Kalasan, Sleman tersebut memaparkan, kemajuan teknologi pada mulanya dapat membuat efisiensi dan efektivitas segala lini kehidupan manusia. Selanjutnya, perkembangan teknologi yang sangat pesat telah menenggelamkan manusia dalam jalinan rutinitas dan otomatisasi aktivitas kehidupan.
“Dalam kondisi tersebut manusia tidak dapat lagi menjadi subjek yang mandiri,” kata Anwar.
Manusia telah mengalami detotalisasi dan dehumanisasi bahkan menuju pada kondisi teralienasi (keterasingan). Subjektivitas diri mengalami abrasi karena sebagian besar aktivitas dikendalikan dan bergantung pada peranti teknologi canggih.
Manusia tidak lagi menjadi pribadi yang memiliki kedaulatan penuh atas dirinya karena adanya batas dan sekat untuk berekspresi. Kehidupan manusia mengalami keterbelahan sedemikian rupa oleh ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat-filsafat modern yang membingungkan.
“Manusia zaman modern cenderung terbentuk menjadi manusia-manusia abstrak dan bukan pribadi yang utuh, kokoh, dan nyata,” ucapnya.
Menurut pria kelahiran Madiun 15 Juli 1968 tersebut, gerakan penting yang muncul dalam kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1970-an ialah gerakan ‘kembali ke akar tradisi’. Gerakan tersebut pada intinya bermakna munculnya kembali kesadaran untuk menjadikan tradisi sebagai titik tolak atau sumber ilham penciptaan karya sastra.
“Sastra profetik adalah sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab. Sastra profetik tidak hanya menyerap dan mengekspresikan, tapi juga memberi arah terhadap realitas sosial,” kata Prof. Anwar. (*)