Siedoo.com - Ilustrasi Gayatri Dewata
Opini

Efektifkah Kebijakan Fasilitasi Lahan 20 Persen untuk Petani Sawit?

Siedoo, Berawal dari adanya sistem pola kemitraan yang dijalankan bersama, antara perusahaan, pemerintah, dan para petani sawit, dari kemitraan kelapa sawit memiliki tujuan sebagai pemberdaya dan meningkatkan pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat. Dengan mengutamakan asas mutualisme yaitu adanya hubungan saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertangung jawab, dan saling memperkuat. Pola kemitraan ini meliputi skema penyediaan sarana produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi, operasional, kepemilikian saham dan atau jasa pendukung lainnya.

Namun pada kenyataannya justru hal yang terjadi di lapangan tidak menunjukkan fakta yang sesuai dengan harapannya. Hal ini karena tidak adanya standar yang melindungi hak petani/pekebun dalam ketentuan kemitraan, karena tidak disebutkan bahwa kerjasama dalam kemitraan usaha perkebunan. Seharusnya berdasarkan kepada kesepakatan para pihak secara partisipatif. Justru yang lebih ditekankan kepada pilihan kegiatan yang dikerjasamakan, bukan kepada polanya.

Jika dibahas dalam regulasi yang ada, tertulis dan sudah diatur dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, kemitraan diatur dengan Undang-Undang No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Dimana di dalamnya diatur semua pola maupun azas yang terkait dengan kemitraan.

Bahwa konsep kemitraan ini didefinisikan sebagai bentuk dari adanya kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah, atau usaha besar yang diikutsertakan dengan adanya pembinaan dengan mengutamakan prinsip saling menguntungkan (mutualisme). Selanjutnya dibahas juga kaitan antara Undang-undang No. 20 Tahun 2008 memiliki keterkaitan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dalam hal kemitraan.

Ini justru mempersempit peluang dan hak setiap pihak untuk menentukan pola kerjasama kemitraan yang diinginkan. Atau bahkan dapat diartikan juga menutup alternatif yang bisa digunakan untuk menentukan pola kemitraan.

Baca Juga :  Kilas Balik Hari Lahir Pancasila

Masalah utamanya muncul pada saat pelaksanaan sistem perkebunan yang tidak secara jelas menjabarkan hak dan tangung jawab dari masing-masing pihak antara perusahaan dan para petani. Kasus yang terjadi ada pada regulasi di dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan tidak jelas apakah pembangunan kebun masyarakat sebesar 20% (dua puluh perseratus) berada di dalam atau di luar areal Hak Guna Usaha (HGU).

Ketidakjelasan lokasi tanah dimana dan tanah milik siapa yang digunakan untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat di sekitar perkebunan. Setelah itu dikaji dan diputuskan untuk memperbaiki regulasi yang ada dan muncullah keputusan pada Putusan MK No.138 tahun 2015 tentang Uji Materi Undang-Undang Perkebunan.

Intinya adalah 20% itu dibangun di luar lahan yang diusahakan oleh perusahaan atau izin atau HGU perusahaan. Tetapi diberbagai peraturan perundang-undangan lain terdapat ketidaksesuaian dan juga ada permasalahan terkait dengan ketersediaan lahan. Sehingga perlu ada alternative lain yang didorong untuk dapat merealisasikan pembangunan kebun rakyat.

Akibat adanya kebijakan ini, pihak perusahaan sebagai bagian dari mitra petani harus melaksanakan kebijakan lahan 20% ini. Namun perusahaan ternyata menyalahkan perannya dan menjalankan praktik dan memerankan peran lembaga keuangan dengan memberikan pinjaman kepada petani. Bukannya memberikan fasilitasi pada petani.

Sehingga tidak terpenuhinya kebijakan penerapan fasilitas 20 persen karena adanya tumpang tindih pada regulasi yang ada. Dengan demikian perusahaan sebagai induk usaha dapat mengoptimalkan pembiayaan, dan tidak memberikan hak wajib bagi petani.

Akibat adanya penerapan kebijakan yang masih belum bisa dengan jelas direalisasikan dan masih terlalu banyak birokrasi yang menyulitkan petani, maka dinilai kebijakan pengembangan lahan 20 persen sebagi hak milik pekebun ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan. Bahkan cenderung menguntungkan perusahaan besar saja. Sehingga tidak sehat untuk praktik persaingan. (*)

Baca Juga :  Pentingnya Budaya Literasi di Sistem Pembelajaran Jarak Jauh

 

 

*Gayatri Dewata Adi Putri
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta

 

 

Apa Tanggapan Anda ?