Siedoo, Membentuk kemandirian dan kedisiplinan anak saat di rumah, terutama saat ada wabah merupakan kesempatan yang sangat baik. Di saat inilah, seluruh anak bisa berkumpul di rumah. Yang tadinya di pesantren bisa pulang dalam waktu lama, yang sekolah tidak masuk sekolah karena belajar dari rumah. Jadi, saat inilah waktu yang paling tepat untuk melatih anak-anak untuk belajar kemandirian dan kedisiplinan.
Terkait dengan uraian dari judul di atas, terlebih dahulu perlu saya mengenalkan untuk contoh bagaimana membangun kemandirian dan kedisiplinan anak. Anaku tiga orang, yang pertama putri di pesantren tahfidz (tradisional), anak kedua laki-laki di pesantren modern, dan anak ketiga di sebuah SMP Negeri.
Anak pertama dan kedua setiap pulang ke rumah selalu rajin membantu ibunya. Ibunya menyapu, “Sini Umi, aku aja yang menyapu.” Ketika ibunya mencuci piring, dia meminta “Sini Umi, aku aja yang mencuci piring,”. Ibunya penyetrika, “Sini Umi, aku aja yang menyetrika.” Sementara anak yang ketiga, mager (malas gerak) main HP tanpa mau peduli sama siapa pun.
Lain Pesantren Lain Cara
Setiap saya menjenguk anakku yang nomor satu, sering tangannya masih banyak tepung, karena diminta membantu bu Nyai memasukkan tepung ke plastik ukuran 1 atau ½ kg. Sementara itu, santriwati yang lain memberi air minum untuk kami yang bertamu. Santriwati yang tidak piket banyak yang menjemur pakaian punya sendiri, membeli bahan-bahan sayur dan lauk untuk diolah, memasak, menyeterika, menghafal, ada juga yang berolahraga.
Berbeda ketika menjenguk anakku yang nomor dua di pesantren modern, dengan uang pangkal puluhan juta rupiah dan uang bulanan hingga Rp 2,2 juta sudah termasuk SPP, uang makan, laundry, uang perpustakaan, uang ekskul, dan laboratorium IT. Dalam setiap harinya anak yang nomor dua lebih banyak belajar dan disiplin mengikuti berbagai kegiatan pondok baik yang wajib maupun yang sukarela.
Di sini kedisplinan anak lebih dipengaruhi oleh kakak kelas yang mendapat tugas mengawasi kedisiplinan anak, baik saat berada di kamar, berangkat tidur, bangun tidur, mandi, sholat berjamaah ke masjid, maupun berangkat ke kelas. Semuanya atas pengawasan dan komando kakak kelas dan beberapa ustadz.
Di situ tampak jelas sekali perbedaan kemandirian dan kedisiplinan antara anak pertama dan kedua yang sama-sama di pesantren. Kedisiplinan dan kemandirian anak pertama dibangun atas dasar pemberian contoh, pengawasan ustadzah, dan pelatihan setiap hari dalam mengerjakan seluruh kebutuhan hidup. Pelatihan kemandirian dari kakak tingkat dan ustadzah sangat tampak. Sementara itu, berbagai bentuk sanksi sangat tidak tampak dan minim sekali dilakukan.
Kedisiplinan anak kedua, lebih banyak dipengaruhi oleh pola sanksi yang akan diterima ketika anak melanggar. Memang tidak ada hukuman yang bersifat fisik, tetapi suara bernada keras dari kakak tingkat, mengambil sampah dedaunan. Atau menyapu halaman pondok, berbaris di depan masjid untuk berjanji tidak mengulang, menjadi hukuman yang selalu dihindari oleh para santri. Sementara itu, kemandirian untuk mengerjakan seluruh kebutuhan hidup tidak tampak. Karena baik mencuci, memasak, menyetrika dan lainnya sudah diserahkan pada pekerja pondok yang memang khusus memborong mengerjakan pekerjaan itu.
Kedisiplinan dan Kemandirian Anak di Rumah
Anak yang nomor tiga, karena tinggal di rumah, kedisiplinannya sangat kurang. Setiap bangun tidur yang dilakukan pertama adalah melihat HP. Tugas yang diberikan oleh Umi-nya untuk pembiasaan jarang dilakukan meski hanya pekerjaan ringan. Seperti menata tempat tidur, merapihkan sprey, bantal-guling dan selimut, serta mematikan lampu kamar.
Anak selalu abai untuk menyiapkan buku pelajaran, kaos kaki, merapikan tempat belajar, bergegas salat saat mendengar adzan, bahkan membuat susu atau teh untuk dirinya. Begitu pula malas dalam membantu orang tua di rumah untuk pekerjaan-pekerjaan ringan. Seperti membantu menyapu teras, memutar mesin cuci, melipat atau menyeterika baju, menyiram tanaman bunga, memberi makan ikan, mencuci sepatu miliknya, atau pekerjaan ringan lainnya sebagai pembiasaan.
Perlu Keseriusan Orangtua
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa untuk membentuk kedisiplinan dan kemandirian anak sangatlah sulit, perlu contoh, partisipasi, dan kesadaran baik dari orang tua maupun anak itu sendiri. Kedisplinan dan kemandirian yang dipaksakan dalam bentuk pemberian sanksi bila lalai tentu kurang baik. Membiarkan anak berkembang dengan semaunya sendiri juga tidak baik.
Laksana menyuntik, perlu dilakukan secara pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Tidak bisa seperti membalik telapak tangan. Perlu upaya terus menerus, dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.
Pembentukan akhlaqul karimah seorang anak, baik yang dititipkan di pesantren maupun yang disanding di rumah merupakan tugas orang tua yang tidak boleh dilupakan. Anak adalah amanah. Orang tualah yang akan memberi warna anak apakah akan dijadikan anak yang shalih-shalihah, selalu berbakti kepada orang tuanya atau sebaliknya.
Semoga saja anak-anak kita bukan menjadi musuh kita, tetapi benar-benar menjadi buah hati yang dapat mikul dhuwur-mendhem jero (membanggakan dan memuliakan) kedua orang tuanya. Aamiin. (*)
Dr. Basrowi Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Ekonomi Syariah PPs UIN Raden Intan Lampung (Alumni Pesma Baitul Hikmah Surabaya, S3 Unair Surabaya, dan S3 MSDM UPI YAI Jakarta)