YOGYAKARTA – Beragam tradisi unik dimiliki masyarakat Gunungkidul, salah satunya yaitu tradisi sambatan gawe umah (meminta bantuan tetangga mendirikan rumah). Tradisi ini merupakan bentuk kebiasaan yang dilakukan masyarakat Gunungkidul. Tradisi ini dalam bentuk gotong royong membangun sebuah rumah melalui prosesi tertentu. Yang dilakukan bahu membahu antarwarga masyarakat tanpa adanya balasan secara materi.
Namun sayangnya tradisi ini banyak terkikis oleh budaya luar, apalagi di era disrupsi juga menjadi salah satu penyebab memudarnya tradisi lokal yang dimiliki masyarakat. Efisiensi yang dibawa era disrupsi tidak selamanya berdampak baik bagi masyarakat. Di mana ada beberapa kondisi yang mengakibatkan masyarakat malas dan instanisasi makin merebak.
Permasalahan yang terjadi akibat memudarnya tradisi-tradisi di masyarakat tidak dapat segara teratasi, jika tidak ada kerjasama dan sikap peduli untuk memecahkannya. Oleh karena itu, mahasiswa program studi Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), melakukan penelitian tentang tradisi sambatan gawe umah. Dengan tujuan mewujudkan dan menjaga nilai lokal pada tradisi yang ada dalam masyarakat. Para mahasiswa itu adalah Diah Nadiatul Jannah, Basiid Elmi Izzaqi dan Nabil Fairuzzabadi.
Menurut Diah Nadiatul Jannah, gugur gunung atau kerjasama menjadi nilai lokal dalam tradisi sambatan gawe umah. Yang memicu kondisi dan berpengaruh terhadap kondisi intelektual dan sosial di antaranya interaksi, proses belajar, pemenuhan kebutuhan, pengembangan diri, dan saling terkait. Serta motivasi, penggunaan kapasitas intelektual, pengalaman dalam keluarga dan pola kepribadian.
“Nilai lokal gugur gunung dalam tradisi sambatan gawe umah membawa dampak pada terciptanya nilai-nilai lain yang bermanfaat. Seperti kepedulian, tanggung jawab, toleransi, kerja keras, semangat, dan komunikatif,” kata Dian.
Basiid Elmi Izzaqi menambahkan penelitian dilaksanakan di tujuh padukuhan. Yaitu Dukuh Jambu, Gabug, Wuni, Karangtengah, Jurug, Nglumbung, dan Jati Desa Giricahyo, Purwosari, Gunungkidul. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi dan wawancara.
“Subjek penelitiannya adalah pemuka adat, sesepuh dan masyarakat Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul,” tambah Basiid.
Sementara Nabil Fairuzzabadi menjelaskan tradisi sambatan atau di masyarakat sering disebut juga “nyambat” adalah tradisi untuk meminta pertolongan kepada warga masyarakat. Pertolongan ini bersifat massal untuk membantu keluarga yang sedang memiliki keperluan atau sedang terkena musibah. Seperti membangun, memperbaiki atau memindah rumah, melaksanakan hajatan, dan juga keperluan-keperluan lain yang membutuhkan bantuan banyak orang.
“Sebuah kearifan lokal yang terbentuk dari semangat gotong royong yang tinggi di dalam masyarakat yang semua itu didasarkan pada rasa kepedulian antara masyarakat satu dan lainnya” ungkap Nabil.
Dalam penelitian yang berhasil meraih dana dari Fakultas Ilmu Sosial UNY tersebut, Nabil dan teman-temannya menemukan banyak nilai yang terkandung dalam tradisi sambatan gawe umah. Seperti gotong royong, tertib, tanggung jawab, rukun, kerjasama, pantang mengeluh, kesetaraan. Juga rasa persaudaraan, persatuan, kepedulian, saling menghargai saling menghormati dan ikhlas.
Eksistensi sambatan gawe umah ini juga merupakan bukti dari budaya intelektual. Karena di setiap tahapan prosesnya mengandung makna yang dalam. Di dalam proses tradisi ini terdapat manajemen, komunikasi efektif dan sudah memikirkan tentang pembangunan yang berkelanjutan. (Siedoo)