YOGYAKARTA – Pada era globalisasi interaksi dan toleransi masyarakat mulai dirasakan terkikis. Kearifan lokal yang merupakan tata cara dalam berinteraksi, mulai dipertanyakan keberadaannya. Termasuk tepa selira yang menjadi pedoman masyarakat dalam mewujudkan sikap masyarakat agar sesuai nilai-nilai kehidupan.
Tepa selira merupakan salah satu kearifan lokal di Yogyakarta yang menjadi pedoman dalam sikap toleransi. Namun sepertinya, saat ini sebagian besar masyarakat Yogyakarta tidak mengenal atau tidak mengimplementasikan kearifan lokal tepa selira. Terutama dalam berinteraksi maupun dalam kehidupan sehari-hari di era globalisasi.
Hal itu mendorong sekelompok mahasiswa prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial UNY tertarik untuk meneliti bagaimana eksistensi kearifan lokal tepa selira. Yaitu sebagai perilaku toleransi pada masyarakat Yogyakarta di era globalisasi sekarang. Mereka adalah Azwan, Arista Damayanti dan Dian Fadillah.
Menurut Azwan, dalam bahasa Indonesia, tepa selira diartikan sebagai “tenggang rasa”. Namun, tenggang rasa dalam masyarakat Jawa ini lebih halus dan memuat nilai-nilai keluhuran lain. Menjunjung tinggi rasa tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya.
Kota Yogyakarta yang pernah mendapat predikat city of tolerance merasakan penurunan sikap tepa selira ini.
“Untuk itu kami membuat penelitian ini untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan tepa selira pada masyarakarat Yogyakarta,” kata Azwan.
Sementara itu, Arista Damayanti menambahkan bahwa penelitian ini dilaksanakan di kota Yogyakarta dengan mewawancarai sejumlah narasumber di antaranya masyarakat, abdi dalem, dosen dan mahasiswa.
Dian Fadillah mengatakan keberadaan tepa selira sampai saat ini masih ada, sebagai budaya asli suku Jawa namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan budaya tepa selira sudah mengalami pergeseran.
“Hal tersebut disebabkan arus perubahan zaman yang terjadi,” katanya.
Tepa selira sebagai bentuk budaya asli Indonesia dan khususnya suku Jawa bisa dijadikan filter mempertahankan budaya-budaya di Indonesia. Karena budaya tepa selira mampu mewujudkan kerukunan, kedamaian dan sikap toleran antarmasyarakat. Dian menyayangkan keberadaan tepa selira hanya dikenal atau diimplementasikan oleh masyarakat-masyarakat perdesaan oleh kalangan orang tua. Terindikasi masyarakat yang mengetahui budaya tepa selira kebanyakan hanyalah kaum tua.
“Kaum ibu sebagai orang yang melahirkan, membesarkan dan selalu berada di samping anak-anak, seharusnya mengajarkan dan menanamkan budaya tepa selira dalam kehidupan mereka,” ujar Dian.
Bila hal itu dilakukan niscaya anak-anak kelak menjadi orang dewasa tidak hanya cerdas ilmu pengetahuannya. Tetapi juga sikapnya danmampu menghargai setiap perbedaan yang ada.
Namun secara umum masyarakat masih menganggap tepa selira bernilai positif. Sehingga mereka memiliki kemauan yang kuat mempertahankan tepa selira dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. (Siedoo)