Siedoo, Ketika melihat anak-anak usia sekolah, namun justru mereka bekerja membantu orang tua merupakan kondisi yang memprihatinkan. Anak usia 12 banyak anak yang belum mengenal huruf A-Z, apalagi mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Kondisi itu akrab dengan anak-anak sebelum 2013 di pedalaman Aceh Tengah, tepatnya di Dusun Kala Wih Ilang, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah. Kala Wih Ilang berjarak 35 km dari Takengon, Ibukota Kabupaten Aceh Tengah.
Keadaan yang demikian itu menggugah seorang pegawai honorer di Kantor Urusan Agama (KUA) Pegasing bernama Sulastri. Bersama pamannya, perempuan kelahiran Aceh Tengah, 14 Juli 1982 ini bertekad mendirikan sebuah sekolah. Maka dibangunnya tempat belajar dari papan dan berlantai tanah di Kala Wih Ilang tahun 2013.
Cerdaskan Anak-anak Buta Huruf
Melansir dari atjehwatch.com (10/1/2020), Sulastri sebenarnya sebenarnya tidak punya pengalaman sebagai guru. Namun dengan modal semangat, ibu dua anak ini bertekad mencerdaskan anak-anak di pedalaman Aceh tersebut. Menurut Sulastri, sebelum tahun 2013 belum ada sekolah di tempat itu, padahal anak didik banyak, tapi belum ada sekolah.
“Bahkan anak umur 12 tahun tidak mengetahui apa-apa di sini, apalagi baca-tulis. Nilai mata uang saja mereka tidak tahu,” cerita Sulastri.
Tak lama setelah bangunan sekolah berdiri, paman Sulastri meninggal dunia. Sulastri pun harus melanjutkan amanah mengajar 13 siswa seorang diri. Melewati segala hambatan yang harus dilalui. Seperti akses jalan ke sekolah masih berlumpur dan sulit dilalui kendaraan roda dua.
Sulastri memilih berjalan kaki ke sekolah. Meski berjarak 7 km, namun butuh waktu 3 jam karena sulitnya medan. Namun tekadnya mencerdaskan anak-anak buta huruf di pedalaman hutan itulah yang memacu langkah-langkahnya.
Inisiatif Lancarkan Belajar-Mengajar
Untuk membuat proses belajar-mengajar menjadi lancar, Sulastri mengutip iuran dari orang tua siswa seikhlasnya. Uang yang terkumpul dia pakai untuk membeli alat tulis serta perlengkapan sekolah. Jika dana tidak mencukupi, Sulastri terpaksa merogoh kocek sendiri. Dia juga merekrut satu orang yang dipercaya untuk mengelola keuangan.
“Orang tua siswa waktu itu juga ikut nyumbang seadanya untuk gaji saya. Setelah saya bagi dengan bendahara, kadang sebulan dapat gaji Rp 50 ribu,” jelas Sulastri.
Setelah berselang tahun, jumlah murid yang bersekolah di MIS Wih Ilang semakin ramai. Hingga 2019 lalu, ada 40 siswa dari kelas 1-6 yang belajar di sana. Sulastri menjabat kepala sekolah meski masih berstatus honorer.
Menurut Sulastri, dari 2013 sampai 2016 itu ada empat guru, termasuk dirimya. Baru 2016 Kemenag Aceh Tengah mengirim tiga guru PNS.
Perjuangan Berbuah Manis
Perjuangan Sulastri mulai berkurang ketika Kepala Kantor Wilayah Kemenag Aceh M. Daud Pakeh berkunjung ke sana, tahun 2017 lalu. Daud memberi sejumlah bantuan, yaitu membangun gedung sekolah, termasuk mengusulkan pengerasan jalanan untuk memudahkan akses ke sekolah.
Berkat kerja kerasnya, Sulastri diganjar penghargaan oleh Kementerian Agama pada akhir 2019. Sulastri diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan sebagai kepala madrasah sekaligus guru inspiratif. Penghargaan berupa uang tunai sebesar Rp 20 juta dan sertifikat dari Menteri Agama RI.
Pada tanggal 10 Desember 2019 lalu pengharhaan diserahkan oleh Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas RI Amich Alhumami M.A, M.Ed, Ph.D, dalam acara Ekpose Kompetensi dan Profesionalitas Guru Madrasah 2019, di Bell Swiss Hotel, Jakarta.
Perjuangan Sulastri sangat inspiratif dan menarik, sehingga sebagai bentuk perhatian terhadap MIS Kala Wih Ilang, Kanwil Kemenag Aceh juga merilis film dokumenter berjudul ‘Cahaya di Atas Bukit’ dan ‘Pelangi sang Pemimpi’.
Film tersebut mengisahkan perjuangan Sulastri saat mendirikan MIS Kala Wih Ilang serta pembangunan fisik madrasah tersebut yang dilakukan oleh Kanwil Kemenag Aceh.
Akhirnya perjuangan Sulastri berbuah manis. Anak-anak pedalaman yang semula buta huruf menjadi melek huruf. Usia sekolah mereka kini diisi dengan belajar di bangku madrasah yang didirikan Sulastri. Sulastri pun tetap senang mengajar anak-anak pedalaman tersebut.
“Saya sudah berniat mengajar anak-anak Kala Wih Ilang selama saya masih hidup. Mudah-mudahan ini jadi ladang amal ibadah saya nanti,” pungkas Sulastri, seperti ditulis serambinews.com. (*)