JAKARTA – Gerakan literasi bukan hanya gerakan di zaman modern. Melainkan sejarahnya, dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal itu seperti yang ditandaskan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.
“Kalau kita berangkat dari pendekatan profetik (keagamaan), sebetulnya pemberantasan buta huruf justru bagi yang beragama Islam hukumnya wajib karena bagian dari sunnah rasul,” kata Mendikbud.
“Kenapa? Karena Nabi Muhammad pertama mendapatkan wahyu adalah untuk melakukan gerakan literasi. Yaitu ketika di Gua Hira diperintahkan Allah melalui malaikat Jibril untuk membaca atau iqra.. Iqra pada dasarnya adalah gerakan literasi. Karena itu saya kira di semua agama, tidak hanya Islam saja, wajib bagi kita untuk menuntaskan literasi ini,” jelasnya.
Literasi saat ini, ungkap Mendikbud, mengalami pengembangan, ada literasi digital, literasi finansial, literasi kebudayaan, kewargaan, dan lain-lain. Sehingga, tidak cukup membina masyarakat hanya sekadar membaca, menulis, dan berhitung. Melainkan, harus betul-betul bisa memanfaatkan kemampuan literasinya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari, maupun berbangsa dan bernegara.
“Maka tugas kita sekarang adalah meningkatkan peranan pendidikan untuk menyongsong abad ke-21, menyiapkan generasi emas 2045 dalam rangka memasuki era revolusi industri 4.0,” pesan Mendikbud.
Mendikbud memberikan apresiasi atas capaian literasi yang luar biasa di atas 98 persen. Padahal waktu awal kemerdekaan, saat dicanangkannya gerakan pemberantasan buta huruf, kondisi penduduk Indonesia 97 persen buta aksara.
Semangat memberantasan buta aksara, kata Mendikbud, telah dinyalakan Bung Karno sejak awal kemerdekaan melalui gerakan “Bantulah Usaha Pemberantasan Buta Huruf”.
“Gerakan ini membuahkan hasil, Indonesia yang pada awal kemerdekaan banyak yang masih buta aksara. Setelah 74 tahun kemerdekaan berubah drastis menjadi bangsa dengan mayoritas melek aksara, dan semakin maju,” jelas Mendikbud.
Dalam memperingati Hari Aksara Internasional (HAI) beberapa waktu lalu di Makasar, Sulawesi Selatan, mengangkat tema “Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat”.
“Tema ini sangat tepat yang didasarkan pada kesadaran atas keberagaman budaya yang harus dipelihara dan kita kembangkan sebagai wahana bersama dalam meningkatkan literasi masyarakat, dan mendorong pemberantasan buta aksara,” ujar Mendikbud.
Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah mengatakan, terkait dengan persoalan buta aksara, merupakan masalah besar yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Khususnya, di provinsinya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Sulawesi Selatan pada 2018 mencapai 70,90. Berdasarkan peta per daerah, IPM di provinsi tersebut termasuk positif karena sebagian sudah berstatus tinggi.
Dari 24 kabupaten/kota, tinggal 11 kabupaten dengan status sedang, 7 daerah berstatus tinggi yaitu Parepare, Palopo, Luwu Timur, Enrekang, Pinrang, Sidrap, Barru, dan Kota Makassar yang merupakan satu-satunya yang berada di level sangat tinggi.
“Gerakan literasi sekarang ini menjadi gerakan yang terus disosialisasikan pada setiap lapisan masyarakat,” ujarnya.
Dijelaskan, kegiatan literasi merupakan suatu bentuk hak dari setiap orang untuk belajar di sepanjang hidupnya. Dimana harapannya adalah dengan kemampuan literasi yang meningkat maka kualitas hidup masyarakat juga bisa ikut meningkat.
“Efek ganda yang dimilikinya juga bisa membantu pembangunan berkelanjutan seperti pemberantasan kemiskinan, pertumbuhan penduduk, peningkatan angka harapan hidup,” jelasnya. (Siedoo)