Siedoo, Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur melangsungkan penelitian dengan membandingkan penggunaan coupling agent epoxy dan lignin pada pencampuran antara polyetyhlene terephalate (PET) dan polyolefins (POs) yang memiliki sifat polar dan nonpolar. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa campuran lignin sebagai coupling agent dapat menghasilkan pencampuran yang memiliki distribusi dan dispersi yang lebih baik dibandingkan coupling agent epoxy.
Penelitian ini digarap Thoriqul Huda bersama Moh Firli Firdausi (Teknik Infrastruktur Sipil) dan Muhammad Rizal Afif (Teknik Material) yang tergabung dalam tim PKM – Penelitian (PKM-PE). Mereka mencoba mengembangkan upaya peningkatan kualitas lapisan AC-BC sebagai lapis antara struktur atas jalan menggunakan Polymer Modified Bitumen (PMB) limbah plastik Low Density Polyethylene (LDPE ) dan lignin sebagai coupling agent terhadap parameter stabilitas Marshall.
“Tujuan dari penelitian ini guna mengetahui morfologi dan ikatan yang terbentuk akibat penambahan lignin sebagai coupling agent terhadap Polymer Modified Ritnen (PMB),” kata Ketua tim Thoriqul Huda.
Kemudian juga untuk mendapatkan rekomendasi proporsi campuran untuk lapisan AC-BC yang berdampak pada pemanfaatan limbah sampah plastik dan penurunan biaya pelaksanaan struktur permukaan jalan. Dari penelitian ini, didapatkan hasil yaitu terjadi peningkatan stabilitas lapis AC-BC hingga 75,9 persen dibandingkan dengan hanya menggunakan aspal murni. Serta mampu menghemat anggaran biaya pelaksanaan jalan hingga Rp 40.480.625,09 dan memanfaatkan 3,96 limbah ton sampah plastik LDPE per km.
Penelitian ini tidak lepas dari kondisi bahwa, penggunaan limbah plastik sebagai bahan substitusi dan aditif dalam campuran aspal menjadi hal positif di tengah perkembangan infrastruktur saat ini. Berlatar hal tersebut, tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) melakukan penelitian sebagai upaya untuk terus mengembangkan peningkatan kualitas jalan.
Thoriq mengatakan, meski pemanfaatan limbah plastik sebagai campuran aspal memberikan tingkat perkerasan yang lebih baik serta daya tahan yang semakin tinggi. Namun, sifat kimiawi bitumen atau sering disebut aspal yang merupakan hidrofilik (polar) bertolak belakang dengan sifat plastik yang merupakan hidrofobik (nonpolar).
Mahasiswa yang akrab disapa Thoriq ini menjelaskan bahwa, indikasi aglumerasi atau penggumpalan di dalam struktur perkerasan jalan diketahui dari meningkatnya paramater Void In Mix (VIM) dari hasil pengujian Marshall, metode pengujian stabilitas aspal.
“Nilai VIM cenderung meningkat seiring pertambahan persentase kadar plastik,” ujar mahasiswa Departemen Teknik Infrastruktur Sipil ITS ini.
Nilai VIM berpengaruh terhadap keawetan lapis perkerasan. Semakin tinggi nilai VIM menunjukkan semakin besar rongga dalam campuran. Sehingga campuran bersifat pourus (berpori atau cenderung getas). Hal ini mengakibatkan campuran menjadi kurang rapat, sehingga air dan udara mudah memasuki rongga-rongga dalam campuran yang menyebabkan aspal mudah teroksidasi.
Air akan melarutkan komponen-komponen yang akan teroksidasi. Sehingga mengakibatkan terus berkurangnya kadar aspal dalam campuran. Penurunan kadar aspal dalam campuran menyebabkan lekatan antara butiran batuan berkurang, sehingga terjadi pelepasan butiran (revelling) dan pengelupasan permukaan (stripping) pada lapis perkerasan jalan.
Dengan demikian diperlukan adanya coupling agent sebagai agen penggandeng antara dua material. “Syarat dari coupling agent adalah memiliki sifat yang hidrofobik dan hidrofilik,” terang Thoriq lagi.
Ia pun berharap, penelitian ini hasilnya bisa dipaparkan ke Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN). Soalnya tahun 2018 lalu, kementerian berencana melakukan uji coba lagi jalan aspal plastik sepanjang 27 kilometer.
“Kami harapkan mampu memaparkan hasil penelitian kami kepada pengelola infrustruktur di pihak pemerintah. Sehingga, menjadi rujukan ataupun masukan terhadap penelitian yang kami lakukan,” tandasnya. (*)