JAKARTA – Kebijakan zonasi pendidikan tidak sebatas pada tataran di Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), tetapi akan ditingkatkan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres). Peningkatan aturan ini dimaksudkan untuk menghadirkan sinergi pembangunan pendidikan baik pusat maupun di daerah.
“Kita harapkan tahun ini Perpres selesai. Saat ini kita matangkan. Kita sudah bahas dengan Kemenkumham, Bappenas, Kemenag,” kata Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Staf Ahli Mendikbud) bidang Regulasi, Chatarina Muliana Girsang.
Menurut Chatarina, penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan pemantik awal. Untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pemenuhan jumlah sekolah dan pemerataan infrastruktur, serta sarana dan prasarana.
Kemudian pemenuhan, penataan, dan pemerataan guru. Dan mendorong integrasi pendidikan formal dengan nonformal, serta gotong royong sumber daya.
“Kewajiban penyediaan akses pada layanan pendidikan sebagai layanan dasar merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah yang diamanatkan pada Undang-Undang Pemerintah Daerah. Bahkan APBD itu harus diprioritaskan penggunaannya untuk pendidikan sebagai layanan wajib,” jelasnya.
Saat ini, lanjutnya, Kemendikbud telah melakukan pembahasan intens dengan beberapa kementerian terkait. Seperti Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Lalu dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama (Kemenag).
“Dengan Perpres ini akan dapat membantu pemerintah daerah untuk menerapkan zonasi,” katanya.
Landasan sosiologis yang mendasari penerapan kebijakan zonasi diantaranya adalah adanya fakta ketimpangan atau kesenjangan pendidikan antardaerah. Kemudian belum meratanya kualitas dan kuantitas sekolah, khususnya dalam sarana prasarana dan guru.
Dan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap akses dan layanan pendidikan sebagai layanan dasar yang wajib diberikan kepada semua warga negara.
“Sekolah negeri yang relatif murah lebih banyak dinikmati oleh anak dari keluarga mampu. Sementara banyak anak dari keluarga tidak mampu terancam putus sekolah. Angka putus sekolah kita masih cukup tinggi, ini tidak boleh dibiarkan terus menerus,” jelasnya.
Kebijakan zonasi merupakan kebijakan tata kelola pendidikan yang berkeadilan sosial sesuai amanat Pancasila sila ke-5, dan konstitusi mendorong pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) oleh pemerintah daerah (pemda).
“Kita akan dapat meningkatkan daya saing Indonesia khususnya kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan,” tutur Chatarina.
Dijelaskan, dengan sistem zonasi, pemerintah dapat lebih mudah menemukan anak-anak putus sekolah agar terwujud wajib belajar 12 tahun. Dan yang tak kalah penting adalah optimalisasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui sinergi tripusat pendidikan, yakni sekolah/guru, keluarga/orang tua, dan lingkungan/masyarakat.
“Program penguatan pendidikan karakter akan lebih optimal. Karena kita melihat data-data kekerasan, kejahatan seksual, anak terkena narkoba itu angkanya cukup tinggi. Itu mendorong pemahaman kita bahwa salah satu yang wajib memberikan pendidikan karakter itu adalah orang tua,” paparnya.
“Jadi, jangan jauhkan anak-anak itu dari pengawasan orang tua karena demi mengejar sekolah yang katanya favorit. Perlu ada cukup waktu anak-anak bertemu dengan orang tuanya,” tambahnya.
Diungkapkan, cukup banyak pemerintah daerah yang melakukan penyimpangan terhadap penerapan aturan Permendikbud mengenai PPDB.
“Hal ini menyebabkan kebingungan masyarakat mengenai aturan PPDB. Kok tidak sama antara yang disosialisasikan dengan yang ditemui di lapangan,” ujarnya.
Zonasi yang diterapkan pemda juga tidak memperhitungkan daya tampung sekolah dengan jumlah anak yang lulus dari jenjang sebelumnya,” imbuhnya. (Siedoo)