Siedoo, Sebuah pengorbanan dan pengabdian yang luar biasa dilakukan oleh guru-guru di wilayah Jember, Jawa Timur. Tak kenal lelah para guru honorer di SDN Suci 4, Kecamatan Panti, mengakrabi medan berat di pegunungan Argopuro, demi mencerdaskan anak bangsa.
Betapa tidak, mereka rela menapaki kerasnya bebatuan dan tanjakan untuk menuju sekolah tempat mereka mengajar. Meski selalu berangkat dengan rapi, namun pulangnya pakaian menjadi lusuh dan kotor, karena jatuh dari motor.
Itu semua mereka lakukan demi mengajar. Meskipun gaji yang mereka terima, tidak sebanding dengan tugas mulia mereka.
“Apa yang kami lakukan justru menginspirasi dan memotivasi anak didik untuk belajar lebih giat,” kata Suyono S.Pd ditulis radarjember.id.
Suyono adalah Kepala SDN Suci 4 Kecamatan Panti, yang setiap hari bersama para guru honorer di sekolahnya selalu berangkat dua jam lebih awal. Pasalnya, tempat mereka mengajar memang lumayan jauh dari kota Kecamatan Panti. Perjalanan dari pusat kota kecamatan ke lokasi sekitar satu jam lamanya.
“Sebenarnya jaraknya relatif tak terlalu jauh, hanya sekitar 12 kilometer saja. Namun karena medan menuju sekolah berbelok-belok dan harus melewati pegunungan, jarak bisa tempuh lebih lama,” tutur Suyono.
Kerasnya medan yang harus dilalui, tak menciutkan niat para guru dalam mencerdaskan siswanya yang tinggal di sebuah daerah pedalaman. Akses jalan di pegunungan yang penuh bebatuan dan tanjakan, seakan sudah menjadi makanan setiap hari.
“Kondisi itu yang memaksa kami harus ekstra hati-hati setiap kali berangkat mengajar,” lanjut Suyono.
Dengan membawa sepeda motornya, dia dan para guru lain harus berangkat lebih pagi. Suyono menerangkan, para guru di sekolahnya berasal dari beberapa wilayah di sekitar Kecamatan Panti. Seperti dari Kecamatan Balung, Bangsalsari, dan dari Kecamatan Panti sendiri. Suyono sendiri tinggal di Kecamatan Sukorambi.
Saat berangkat, mereka sering barsama-sama, mengantisipasi kendala yang ditemui di perjalanan. Tak jarang, beberapa dari mereka jatuh, hingga terpelanting saat mengendarai motornya.
Terlebih saat musim hujan, selain berbelok-belok dan banyak tanjakan, jalanan menjadi sangat licin. Jadi mereka harus ekstra hati-hati selama pergi dan pulang mengajar.
Suyono menambahkan, dedikasi para guru honorer tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. Tidak jarang dari mereka itu saat berangkat dari rumahnya kehujanan, atau sepeda motornya yang terkadang macet di tengah hutan.
Meskipun demikian, Suyono mengaku tetap berusaha menyejahterakan nasib para guru honorer itu. Dia mengaku pernah menjual pohon sengon, bahkan menjual perhiasan untuk menambal gaji para guru honorer di sekolahnya.
“Itu belum seberapa dibanding keikhlasan pengabdian dan perjuangan teman-teman guru honorer itu. Semoga pemerintah memperhatikan nasib mereka,” harap Suyono. (*)