Siedoo, Sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memiliki cara tersendiri agar kain tenun tradisional tetap diminati masyarakat. Mahasiswa merancang Eco Culture Fashion yang memberikan nuansa baru pada tenun tradisional, yang tidak dimiliki kain tenun pada umumnya.
Rancangan ini tidak lepas kondisi bahwa, proses pembuatan kain pabrikan lebih cepat dari pada pembuatan kain tradisional. Perlu inovasi khusus agar kain tenun tradisional tetap diminati masyarakat jaman sekarang,
Mereka adalah Khoir Nur Arifah prodi Manajemen, Ahmad Febriyanto prodi Kebijakan Pendidikan, Dwi Martanti Cahya Imani prodi Akuntansi serta Miftahul Annisah Nurfitria dan Chomsatun Rispa Cendana prodi Pendidikan Teknik Busana.
Eco Culture Fashion memanfaatkan tumbuhan sekitar seperti tumbuhan perdu atau tumbuhan liar yang disusun membentuk suatu motif tertentu, yang menggambarkan cerita rakyat sebagai upaya untuk melestarikan budaya bangsa.
“Eco Culture Fashion merupakan inovasi tenun tradisional yang dibuat agar tenun tradisional tetap eksis dan diminati masyarakat,” kata Khoir Nur Arifah.
Tenun Eco Culture Fashion merupakan tenun yang memiliki keunggulan dari segi motif tenun, terbuat dari tanaman perdu yang dinilai menjadi tanaman pengganggu oleh masyarakat. Motif tersebut dihasilkan dari proses pewarnaan dengan teknik ecoprint yang aman bagi kulit maupun lingkungan. Itu karena menggunakan bahan alami dan tidak menghasilkan limbah hasil pewarnaan yang berbahaya.
Saat ini memang Indonesia mempunyai banyak macam kain tradisional, seperti kain batik dan lurik dari Yogyakarta atau kain gringsing dan endek dari Bali. Selain kain tenun tradisional, di Indonesia juga berkembang kain-kain pabrikan yang sangat diminati masyarakat. Seperti batik printing dan linen.
Ahmad Febriyanto menambahkan, pewarnaan kain tenun dilakukan menggunakan bahan alami yaitu daun dari tumbuhan sekitar dengan teknik ecoprint. Produk inovasi ini memiliki banyak kelebihan dibanding produk lain, yaitu green product, produk berbasis kebudayaan dengan mengangkat nilai- nilai kearifan lokal, dan produk juga sangat berpeluang untuk pemasaran di dalam negeri maupun luar negeri.
“Oleh karena itu usaha dengan produk inovasi ini sangat berpeluang untuk dikembangkan dan menjadi produk yang diterima masyarakat,” paparnya.
Proses Produksi
Dwi Martanti Cahya Imani mengatakan, bahan yang dibutuhkan adalah kain lurik, bahan pewarna berupa daun kersen dan daun cemara dan benang kasur. Tahap produksi dimulai dari penyiapan alat dan bahan, kemudian daun ditelakkan diatas permukaan tenun, lipat menjadi bagian kecil memanjang, digulung dan mengikat kain gulungan dengan benang kasur.
Lalu mengukus kain tenun yang sudah ditali diatas panci selama kurang lebih 1 jam atau sampai zat warna dari tumbuhan keluar dan menyerap kedalam tenun. Kemudian proses fiksasi dengan cara kain tenun yang dengan menggunakan tunjung atau tawas dengan membuat larutan zat fiksasi 3 sendok makan dengan 1 liter air untuk fiksasi 1 meter kain.
Kemudian mengukus kembali kain yang telah difiksasi selama 1 jam sampai zat warna daunnya meresap. Potong tali dan lepas gulungan tenun, selanjutnya bersihkan daun kemudian bilas hingga bersih dan jemur. Lalu proses menyetrika permukaan tenun dengan suhu hangat.
Setelah disetrika, tenun akan dilipat, dikemas dan diberi label nama usaha maupun label perawatan. Karya ini juga berhasil meraih dana Dikti melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan tahun 2019. (*)