Siedoo, Dahulu smartphone dianggap sebagai ‘musuh’. Bahkan sempat memberlakukan peraturan untuk mengumpulkan seluruh smartphone peserta didik selama kegiatan belajar berlangsung karena dianggap mengganggu.
Rupanya sekarang justru hal itu membuat peserta didik kehilangan semangat belajar. Seperti orang kecolongan belahan hati, sedemikian tidak terpisahkannya ‘Generasi Z’ dengan gadget.
Hal tersebut dinyatakan Pengajar Sejarah SMAN 1 Kota Malang, Jawa Timur, Ratnawati S.Pd seperti yang tertulis dalam rubrik opini malang-post.com.
“Dengan gadget tersebut sebagai media pembelajaran untuk para digital native ini. Ternyata, peserta didik justru mampu melakukan banyak eksplorasi pembelajaran. Ada banyak hal yang justru generasi Z ini lebih banyak tahu, jika dahulu generasi memerlukan waktu seminggu untuk mengerjakan sebuah tugas multimedia, generasi zaman ‘now’ dengan media yang ada hanya memerlukan waktu lebih singkat,” urainya.
Di sinilah, lanjutnya, kemudian dibutuhkan keberanian bagi para pendidik untuk berani merefleksikan kembali perannya di depan kelas. Peran pendidik, dosen, kini dituntut tidak hanya bertugas transfer ilmu di depan kelas.
Upaya merefleksikan kembali filosofi Ki Hadjar Dewantara penting untuk dilakukan. Di depan memberi panutan, di tengah memberi semangat dan di belakang mampu mendorong masih sangat relevan.
“Guru di era industri 4.0 ini adalah kemestian yang tidak dapat ditepis,” tandasnya.
Peran seorang guru, tambahnya, dalam menghantarkan generasi yang kuat dan berkarakter tidak tergantikan oleh apapun yang sifatnya material. Metode pendidikan yang digunakan Ki Hajar Dewantara pada Perguruan Taman Siswa disebut sistem among. Isinya terangkum dalam asas yang sangat masyhur, yaitu ing ngarso sung tuladha, in madya mangun karsa, tut wuri handayani.
“Pendekatan terbaik yang dilakukan oleh seorang guru adalah pendekatan hati. Pendekatan hati tidak akan terhalang oleh waktu, ruang, dan materi. Sentuhan hati akan mudah mengendap dalam jiwa manusia tidak ada yang bisa menggantikannya. Hal ini sesuai dengan persepsi filsafat bagaimana seorang manusia memanusiakan manusia,” tegasnya.
Dijelaskan, tugas guru tidak sebatas membuat peserta didik menjadi pintar namun juga memberi motivasi, membangun karakter sehingga menjadi insan atau pribadi yang berintegritas. Peran pendidik masih sangat penting meski pengetahuan kini sudah bisa diakses dari banyak sumber.
“Value, believe, independent thingking, kerja tim dan peduli terhadap orang lain adalah kemampuan yang tidak dikuasai oleh mesin. Itu sebabnya, guru harus mengajarkan peserta didik kemampuan tersebut untuk memastikan bahwa manusia berbeda dengan mesin,” katanya.
Diterangkan, di era digital sudah tidak zaman lagi istilah ‘guru selalu benar.’ Tugas guru selain memberikan motivasi juga menjadi filter dari beragam literasi media yang ditemukan peserta didik agar tidak mengarah pada hasil yang kontra produktif.
“Pendidik harus mampu melahirkan generasi kreatif, inovatif, mampu menjawab tantangan dengan sumber-sumber yang kredible, sesuai aturan ilmiah dan juga menjunjung tingg etika. Dari sini diharapkan bermunculan generasi ‘kekinian’ yang mampu menjawab setiap tantangan yang muncul di eranya dengan berkarakter dan berintegritas. Unggul dalam akademik maupun afektif, sehingga tercipta perkembangan yang seimbang. Maju terus Pendidikan Indonesia,” tutupnya. (*)