JAKARTA – Jumlah guru honorer di Indonesia masih banyak. Jumlahnya kurang lebih mencapai 735.825. Di antara persoalan yang muncul bagi mereka adalah kesejahteraan. Guna menuntaskan hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berusaha ingin menuntaskannya secara bertahap.
“Ini memang harus diselesaikan. Dengan jumlah guru honorer yang cukup banyak, penyelesainya akan kami lakukan secara bertahap,” kate Mendikbud Muhadjir Effendy melansir dari kemdikbud.go.id.
Mendikbud menyatakan, langkah yang bisa diambil di antaranya menyelenggarakan rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Di tahun ini sudah mulai digelar tahap I, tesnya digelar 23-24 Februari lalu.
“Dengan pengangkatan melalui tes jalur P3K bagi yang usianya melebih ketentuan penerimaan ASN,” tandasnya.
Guru honorer bisa saja ikut seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), seperti pada tahun 2018. Asalkan memenuhi syarat, seperti usia maksimal saat mendaftar 35 tahun.
“Kami sangat memahami harapan dan keinginan bapak dan ibu guru honorer yang sudah lama mengabdi. Insya Allah secara bertahap bisa diselesaikan,” ujar Mendikbud.
Dalam rubrik kolom di detik.com, Hasanudin Abdurakhman seorang cendekiawan, yang kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia menyatakan, terjadi kekurangan guru di Indonesia, karena pemerintah tak punya cukup anggaran untuk menggaji mereka. Beberapa daerah masih kekurangan guru, dengan rasio guru-murid masih di bawah standar yang ditetapkan.
“Pemerintah seharusnya mengangkat guru-guru baru untuk memenuhi kebutuhan itu, tapi tidak punya anggaran untuk menambah pegawai baru. Solusi daruratnya adalah dengan mempekerjakan guru-guru itu dengan sistem kontrak berjangka. Pendidikan diselenggarakan secara darurat. Pedihnya, situasi darurat itu sudah berlangsung bertahun-tahun,” tulisnya.
Ditandaskan, sistem kontrak ditentang oleh para buruh dalam dunia industri. Dengan sistem kontrak berjangka, pemberi kerja tidak perlu dibebani oleh beban jangka panjang yang melekat pada pegawai tetap.
“Mereka bisa memutus kontrak ketika masanya sudah berakhir. Ironisnya, sistem ini justru dijalankan pemerintah. Dunia pendidikan memakai sistem perburuhan,” tulisnya.
Karena tidak dianggarkan, maka proses rekrutmen juga tidak terencana. Akibat selanjutnya, tidak ada mekanisme yang baku dan tertib dalam proses perekrutan. Ada sebagian guru honorer yang berkualitas, tapi tidak sedikit yang berkualitas rendah. Mereka direkrut bukan berbasis pada kompetensi, tapi karena punya hubungan baik dengan sekolah perekrut,” tandasnya.
Kini dalam pemerintah juga belum mengumumkan hasil seleksi P3K secara resemi. Pemerintah pusat masih menunggu kesanggupan pemerintah daerah untuk menggaji P3K lewat APBD. (Siedoo)