Siedoo, Ada hadits yang menyatakan kemuliaan guru, dibanding profesi apa pun di dunia ini. Kemuliaan guru sungguh luar biasa, memberikan pendidikan kepada anak didik, mencerdaskan mereka. Bahkan seorang guru tidak bisa tergantikan oleh mesin.
“Sesungguhnya para malaikat dan penduduk langit dan bumi hingga semut yang ada di dalam lubangnya berserta ikan di laut bersalawat (berdoa) untuk guru (orang-orang yang mengajar kebaikan) kepada manusia.” (Hadits riwayat At-Tirmidzi)
Guru, beberapa waktu lalu banyak yang instan secara melimpah/mutasi menjadi pegawai struktural. Banyak alasan mereka mengapa pindah ke struktural (pegawai kantoran).
Disebut pegawai kantoran, karena sekolahan dianggap bukan ‘kantor’. Bagi yang mutasi ke tenaga struktural, otomatis dia berhenti sebagai guru. Mengapa dia harus pindah selain guru? Padahal kedudukan guru sangat mulia di mata Allah SWT.
Sejak zaman orde baru, guru juga selalu dininabobokkan dengan sanjungan ‘pekerjaan guru adalah mulia dan pahlawan tanpa tanda jasa’. Sanjungan itu memang tidak ada yang salah, semuanya adalah benar. Guru pekerjaan mulia adalah benar dibuktikan dengan dalil di atas.
Profesi guru diminati
Guru sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ juga benar, karena guru yang jasanya amat mulia itu tidak pernah diberi tanda jasa sebagaimana TNI dan Polisi. Bahkan diciptakan pula lagu untuk sanjungan itu, yang diberi judul Hymne Guru.
Sekitar tahun 1970 hingga tahun 2000-an, profesi guru terutama guru SD, oleh guru itu sendiri kurang dibanggakan. Bagaimana dengan kondisi guru zaman sekarang? Sudahkah dibanggakan oleh mereka sebagai penyandang guru? Tentu sudah.
Bahkan saat ini status guru mulai diminati kaum muda potensial. Alasannya adalah karena guru gajinya dibayar 2 kali lipat dari gaji pokoknya, melalui tunjangan sertifikasi. Gaji pokok guru jaman sekarang paling besar untuk ukuran PNS apa pun. Sehingga kehidupan guru menjadi relatif sejahtera.
Inikah hal yang menyebabkan banyak guru, yang tidak berminat mutasi atau menjadi kepala sekolah? Jawabannya tidak dapat dikatakan sepenuhnya “ya”. Karena menurut hasil analisa penulis, ternyata banyak guru yang ditawari menjadi kepala sekolah pun enggan.
Bahkan di beberapa daerah, karena sangat sulit mendapatkan kepala sekolah, dikeluarkan kebijakan khusus. Bagi guru yang sudah memenuhi syarat (layak) menjadi kepala sekolah namun enggan ikut tes pengangkatan kepala sekolah, dia harus membuat surat pernyataan bermeterai 6.000.
Sepuluh alasan
Menurut hasil pengamatan penulis, yang paling prinsip mengapa guru enggan menjadi kepala sekolah, antara lain adalah:
- Tidak mudah
Menjadi kepala sekolah atau melimpah ke struktural tidaklah mudah, berprestasi atau tidak, tetap harus memenuhi ‘wani pira?’ alias pada titik tertentu, ada dugaan proses menyuap, dan itu hukumnya haram. Namun hal ini bisa tidak berlaku bagi mereka yang memang berambisi menjadi kepala sekolah, meskipun tidak berprestasi.
- Harus Kapabel
Menjadi kepala sekolah diutamakan guru yang kapabel. Paling tidak harus berprestasi, cakap, cerdas, dan memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus. Hal itu belum tentu dimiliki semua guru.
- Dianggap menambah dosa
Menjadi kepala sekolah dianggap hanya akan memperbanyak dosa. Karena di SD atau SMP, menggunakan uang negara berupa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sebagai manajer sekolah, kepala sekolah adalah penanggung jawab segalanya, termasuk penggunaan dana BOS.
Terkadang, penggunaan dana BOS tidak selamanya lurus sesuai aturan. Penyalahgunaan uang negara bukan pada posnya, adalah pelanggaran. Setiap pelanggaran pasti ada konsekuensi hukumnya.
Apalagi, kalau dana BOS ditilep, belanja di-mark up, dimanipulasi dan sebagainya, jelas kategorinya korupsi. Korupsi adalah dosa besar.
- Tanggung jawab lebih besar
Misalnya pertanggungjawaban laporan penggunaan dana BOS cukup rumit. Banyak kepala sekolah yang mengeluh karena pusing dengan pembuatan SPJ BOS.
Pusingnya membuat SPJ BOS akibat dari tidak sehatnya penggunaan BOS. Bukan karena kepala sekolahnya yang korup, tetapi sering kepala sekolah dibuat pusing padahal pihak lain yang diuntungkan, seperti beban membayar pajak.
- Takut tidak kuat melawan arus
Melawan arus di sini dimaksudkan harus tunduk sepenuhnya kepada perintah atasan. Atau harus ikut kebanyakan orang (para kepala sekolah lain). Banyak atasan yang tidak mau mendengar saran atau masukan dari bawah (guru atau kepala sekolah).
Sehingga menjadi kepala sekolah ‘dirasa’ seperti pegawai di zaman penjajahan, harus begini, harus begitu. Permintaan laporan mendadak, padahal harus diketik, bahkan mungkin diolah datanya terlebih dahulu yang perlu waktu. Sementara di tingkat SD belum ada tenaga Tata Usaha (TU).
Belum lagi bila atasan telah “bekerjasama” dengan pebisnis yang menguntungkan atasan tersebut. Misalnya penerbit buku, penerbit Lembar Kerja Siswa (LKS), toko material bangunan, penjual alat peraga pendidikan, dan sebagainya.
Biasanya kepala sekolah ‘diarahkan’ atau ‘digiring’ untuk membeli di pihak pebisnis tersebut. Dalam hal ini kepala sekolah ‘dipaksa tunduk’ dan bila tidak setuju maka konsekuensinya dicap sebagai ‘pembangkang’.
Terkecuali, apabila kerjasama tersebut memberi kemudahan pekerjaan atau pelaporan semua pihak. Atau menjadikan pekerjaan sekolah atau kepala sekolah dan guru lebih efektif dan efisien. Misalnya aplikasi raport, aplikasi pelaporan BOS, dan lainnya.
- Beban tugas
Bila ditinjau dari sisi beban tugas, lebih enak jadi guru. Yang dihadapi selalu sama, siswa dengan umur dan karakter yang tidak terlalu jauh berbeda dari tahun ke tahun.
Lain halnya dengan kepala sekolah, permasalahan yang dihadapinya bisa sangat berbeda tajam, antara orang tua murid yang satu dengan yang lain. Atau antara satu guru dengan guru lainnya, meskipun di satu sekolah. Dari sisi ini justru lebih pusing kalau jadi kepala sekolah.
- Tunjangan jabatan tidak sebanding tanggung jawab yang dipikul
Bila ditinjau dari sisi tunjangan jabatan, tunjangan yang diterima tidak sebanding dengan tanggungjawab yang dipikul. Seorang kepala SD misalnya dengan tunjangan jabatan kepala sekolah kurang dari Rp 300.000 tentu banyak nomboknya. Istilahnya, habis untuk 2 kali kondangan (menyumbang).
- Kegiatan sosial bertambah
Menjadi kepala sekolah tentu kegiatan sosialnya bertambah. Kepala sekolah harus ikut Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) atau Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Paguyuban kepala sekolah di tingkat kabupaten/kota dan sebagainya. Hal ini tentu berkaitan dengan pengeluarannya dan kegiatan sosialnya.
- Pembatasan masa jabatan/sampiran
Kepala sekolah adalah sampiran atau tugas tambahan yang diberikan kepada guru sesuai dengan mekanismenya. Artinya bila seorang guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah kemudian habis masa jabatannya, maka kembali sebagai guru kembali seperti semula.
Masa jabatan kepala sekolah adalah 4 tahun dan bisa menjabat 4 tahun yang kedua. Apabila selesai yang masa jabatan kedua dan belum memasuki masa pensiun, maka menjadi guru lagi. Bisa jadi ini menjadi beban mental bagi guru tersebut.
- Kurang siap dengan IT
Seorang kepala sekolah seperti juga guru harus ‘ngabehi’, artinya harus bisa segalanya. Mengajar, mendidik, memimpin organisasi, mampu berbicara di forum-forum ilmiah, sebagai manajer, sebagai administrator (terutama di SD), menguasai IT, dan sebagainya.
Tidak semua guru menguasai IT atau istilahnya gaptek. Sehingga sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan komputer, diserahkan kepada orang lain, misalnya minta bantuan kepada operator sekolah.
Alasan kesepuluh ini sebenarnya bisa disikapi. Namun ada guru yang beralasan kurang menguasai IT dan kurang ‘ngabehi’ membuatnya enggan menjadi kepala sekolah.
Itulah sepuluh alasan guru enggan menjadi kepala sekolah. Bisa saja orang membantah pandangan di atas. Namum saat ini tidak bisa dibantah bila banyak sekolah yang tidak memiliki kepala sekolah definitif, akibat banyaknya guru enggan menjadi kepala sekolah dengan minimal satu alasan di atas. (*)
*Narwan, S.Pd
Guru SD Negeri Jogomulyo, Tempuran,
Magelang, Jawa Tengah