Siedoo.com -
Nasional

Ombudsman Ungkap Persoalan Pendidikan Siswa Disabilitas

JAKARTA – Ombudsman RI menemukan komplikasi masalah, yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus di Provinsi Kalimantan Selatan. Dari data Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan tercatat penyandang disabilitas usia sekolah ada 25% atau setara 24.839 orang anak.

Mereka yang mendapatkan pendidikan di SLB sejumlah 1.453 anak. Lalu yang tertampung di sekolah inklusi sejumlah 4.453 anak.

“Nyatanya, peserta didik disabilitas ini mendapat penolakan untuk ikut dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah inklusi,” tulis Tim Kajian Sistemik Ombudsman RI, Herru Kriswahyu, dalam siaran persnya.

Hal tersebut karena tidak ada syarat standar peserta didik baru penyandang disabilitas. Termasuk tidak memadainya sarana dan prasarana di sekolah inklusi, proses belajar mengajar tidak sesuai kebutuhan anak didik disabilitas.

Oleh karena tidak ada guru pembimbing, tidak ada kriteria kelulusan minimal bagi anak didik dengan disabilitas. Bahkan orangtua siswa disabilitas harus ‘patungan’ untuk membayar guru pembimbing.

“Dan sayangnya guru dan siswa bukan penyandang disabilitas, kurang menerima dengan baik siswa disabilitas,” tambahnya dalam laman ombudsman.go.id.

Di sisi lain, tulisnya lebih lanjut, dari sisi pengawasan, ditemukan permasalahan. Pertama, terjadi pengabaian kewajiban dalam penyelenggaraan sekolah inklusi. Sehingga, sekolah inklusi tidak dapat diakses anak didik berkebutuhan khusus Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Tabalong.

“Kedua, terjadi penyimpangan prosedur penyelenggaraan sekolah inklusi di Kalimantan Selatan, dengan tidak tersedianya guru pembimbing khusus, tidak ada petunjuk teknis pelaksanaan PPDB bagi siswa penyandang disabilitas. Sehingga, ada sekolah inklusi yang menolak mereka tanpa alasan, tidak terdapat standar layanan penilaian,” tandasnya.

Padahal kriteria ketuntasan/kelulusan minimal menurut Peraturan Menteri Pendidikan No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, harus dibuat berdasarkan minat dan bakat siswa, dan tidak terdapat standar layanan minimal di sekolah inklusi.

Baca Juga :  Ini Empat Prioritas Kemendikbud dalam RPJMN 2020-2024, Teknologi Gantikan Guru?

“Ketiga, penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang tidak kompeten di sekolah inklusi, karena mereka dididik bukan oleh guru pembimbing yang mempunyai kompetensi khusus,” ujarnya.

Keempat, terjadi penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang tidak memadai. Hal ini karena masih ada guru yang hanya mengelompokkan anak didik disabilitas dengan sesamanya. “Dan memisahkan dengan mereka yang non-disabilitas,” tambahnya.

Berdasarkan hasil temuan dan analisis ketentuan peraturan perundang-undangan, Ombudsman Republik Indonesia menyampaikan saran, sebagai berikut:

1. Pemerintah Provinsi/Kab/Kota sebaiknya dapat memenuhi akses bagi siswa ABK di sekolah inklusi;

2. Pemerintah Provinsi/Kab/Kota semestinya menempatkan guru pendamping khusus paling sedikit 1 (satu) orang di setiap sekolah inklusi;

3. Pemerintah Provinsi/Kab/Kota sebaiknya menyusun standar persyaratan dalam penerimaan peserta didik baru berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di Kalimantan Selatan;

4. Dinas Pendidikan Kab/Kota segera mengeluarkan surat edaran tentang larangan melakukan pungutan kepada orang tua siswa ABK untuk membiayai guru pendamping khusus;

5. Pemerintah Provinsi/Kab/Kota seyogyanya segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan penetapan sekolah inklusi;

6. Membentuk unit layanan disabilitas pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota;

7. Sinkronisasi kebijakan mencegah saling lempar kewenangan penyelenggaraan sekolah inklusi antara pemerintah Provinsi dan Kab/Kota.

Hal di atas tersebut, merupakan hasil investigasi Ombudsman RI atas prakarsa sendiri mengenai Aksesibilitas Sekolah Inklusi di Kalimantan Selatan.

Investigasi sampai laporan akhir kajian dilakukan pada April – Juli 2018 di Kalimantan Selatan. Lokasi kajian meliputi sejumlah besar wilayah di Kalimantan Selatan, yakni di Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Barito Kula, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Tabalong.

Sesuai UU Ombudsman, yakni pada Pasal 7 huruf d Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik bidang pendidikan bagi anak didik penyandang disabilitas. Yakni, belum tersedia dan terbatasnya sarana dan pelayanan pendidikan bagi mereka, serta hasil investigasi tersebut memberikan saran perbaikan kepada instansi/lembaga terkait. (Siedoo)

Apa Tanggapan Anda ?