Siedoo, Di Kota Surabaya, Jawa Timur ditemukan sebuah fakta bahwa, masih adanya ketimpangan distribusi makanan bagi masyarakat. Di sisi lain, tahun 2017 lalu di Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surabaya tercatat, setidaknya ada 155 ribu penduduk miskin yang tidak bisa merasakan makanan dengan layak. Berangkat dari fenomena itu, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bergerak untuk mencarikan alternatif solusinya.
Mereka adalah Djohan Prabowo, Sirria Panah Alam, dan Agatha Putri Adwitya. Dari hasil pengamatan, masih adanya fakta ketimpangan distribusi makanan bagi masyarakat di Kota Surabaya. Salah satu anggota tim, Agatha, mengatakan bahwa, di sisi lain tingkat kelebihan produksi makanan di Surabaya menunjukkan angka yang cukup tinggi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surabaya mencatat 2017 lalu, setidaknya 155 ribu penduduk miskin, tidak bisa merasakan makanan dengan layak. Fenomena ekstrem ini mengisyaratkan adanya kebutuhan sistem yang dapat menyalurkan kelebihan makanan bagi mereka yang membutuhkan.
Guna mengatasi tidak meratanya penyaluran makanan itu, tim mahasiswa Departemen Teknik ITS yang bernama Tim Djotas III ini, menggagas inovasi rancang bangun aplikasi distribusi makanan berlebih. Aplikasi tersebut dinamakan Bagi Bagi In.
Aplikasi Bagi Bagi In merupakan aplikasi sejenis chatterbot yang menumpang pada aplikasi Line. Pengguna tidak perlu meng-install aplikasi ini secara langsung di smartphone mereka.
“Untuk dapat menikmati berbagai fitur Bagi Bagi In, pengguna cukup menambahkan akun Bagi Bagi In di aplikasi Line mereka,” kata Agatha.
Aplikasi ini memuat beberapa menu di antaranya hunger spot, donasi, poin, dan hadiah. Hunger spot berfungsi untuk menunjukkan lokasi masyarakat yang membutuhkan donasi makanan.
“Adapun menu donasi digunakan sebagai media input bagi mereka yang ingin menyumbangkan kelebihan makanannya,” terang Agatha.
Agatha menuturkan, meskipun aplikasi ini bertujuan untuk mengatasi masalah distribusi makanan, pengguna juga diberi kebebasan untuk menyumbang dalam bentuk uang. Hasil donasi berupa uang akan digunakan untuk memenuhi biaya operasional.
“Misalnya biaya pengemasan makanan dan upah untuk pengantar makanan,” ungkapnya.
Sementara itu, menu poin dan hadiah sengaja diberikan untuk memacu pengguna agar bersemangat dalam melakukan donasi. “Dengan cara ini kami berusaha memberikan timbal balik yang sesuai bagi para donatur,” ujar mahasiswi angkatan tahun 2015 itu.
Karya mereka tidak hanya diakui di internal kampus saja, tetapi juga dari pihak luar. Bahkan, inovasinya tersebut, Tim Djotas III ini telah berhasil membawa pulang medali perak pada cabang Karya Tulis Ilmiah Teknologi Informasi dan Komunikasi (KTI TIK) di Pagelaran Mahasiswa Nasional bidang TIK (Gemastik) 2018, awal November lalu. (*)