Siedoo.com -
Nasional

RUU PPK dalam Pandangan Tokoh Agama, Namun Sempat Diprotes

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU PPK) mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Mereka ada yang mendukung agar rancangan yang saat ini masih digodok di DPR RI segera disahkan menjadi undang-undang. Tetapi sebelumnya juga ada yang memprotesnya. Pro kontra.

Ketua Ittihadul Ma’ahid Al Muhammadiyah (ITMAM) Yunus Muhammad mengapresiasi adanya RUU PPK.

Ia menyarankan agar RUU ini tidak terfokus pada pesantren sebagai lembaga pendidikan saja. Namun, aspek sebagai agen-agen lain perlu dibahas.

“Aspek pemberdayaan masyarakat perlu dibahas agar bisa masuk dalam RUU Pesantren,” katanya dilansir dari kemenag.go.id.

Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’hadil Islamiyah (RMI) KH Abdul Ghaffar Rozin menerangkan, RUU  tersebut merupakan rekognisi negara terhadap pesantren tanpa pamrih dan tanpa syarat.

Rekognisi negara itu, juga menghargai dan mengakui tradisi yang selama ini berkembang di pesantren. Karena, selama ini sudah terbukti menjaga moral bangsa.

“Subtansi rekognisi itu lebih penting daripada terburu-buru karena menyesuaikan momentum-momentum tertentu. Maka perlu mendengarkan aspirasi-aspirasi dari pihak terkait,” kata kiai yang akrab disapa Gus Rozin ini

Ketua Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Pusat, Lukman Hakim menyatakan RUU PPK harus betul-betul mengakomodir komponen pendidikan keagamaan saat ini yang punya komitmen mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Entah itu yang kini telah ada maupun yang nanti akan ada.

“Harus diminimalisir dari kepentingan personal/kelompok, sehingga RUU ini benar-benar mengayomi masyarakat Islam. Bahwa pendidikan keagamaan ini merupakan pemegang kendali kehidupan kebangsaan,” tegas Lukman.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Ahmad Zayadi berharap, RUU PPK menjadi landasan yuridis yang memadai.

“Landasan tersebut yang memadai dalam memberikan rekognisi (pengakuan, red) yang berpijak pada kekhasan dan keunikan sekaligus pentingnya pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia,” terang Zayadi.

Baca Juga :  UU Pesantren Sah, Ponpes Berpeluang Kejatah Anggaran Pemerintah

Politisi Golkar, Meutya Hafid berharap RUU tersebut nanti bisa jadi payung hukum untuk mengoptimalkan pengembangan pendidikan berbasis pesantren dan madrasah.

“Dengan adanya payung hukum UU, diharapkan ada keberpihakan dan keadilan dari sisi politik anggaran. Apalagi pendidikan di pesantren dan madrasah juga selama ini sangat berperan dalam upaya mencerdaskan anak bangsa,” katanya dilansir dari detik.com.

“Pesantren dan madrasah terbukti telah melahirkan ribuan generasi yang berprestasi,” tambah mantan wartawan salah satu tv swasta nasional ini.

Sementara itu, anggota DPR RI asal Aceh, H Firmandez, menjadi inisiatif DPR RI ini harus didukung semua pihak. Agar, adanya kesetaraan antara pendidikan umum dan pendidikan berbasis agama, sehingga pendidikan di pesantren menjadi lebih terjamin.

“Tujuannya nanti ke sana, agar tidak ada lagi ketimpangan antara lembaga pendidikan agama dan lembaga pendidikan umum. Selama ini kan lembaga pendidikan agama seperti dayah atau pesantren kesannya seperti dianaktirikan,” katanya sebagaimana ditulis teropongaceh.com.

Di sisi lain, sebagaimana ditulis tribunnews.com, ratusan kiai sepuh sempat memprotes  draf RUU Pesantren . Draf itu dinilai belum mengakomodir aspirasi banyak pesantren di Indonesia yang tergabung dalam FKPM (Forum Komunikasi Pesantren Muadalah).

“Dalam draf RUU Pesantren yang terakhir, satuan muadalah tidak diberi tempat. Wajar kalau kita mengkritisi” ujar KH. Abdillah Nawawi dari Tremas, dalam pertemuan Tim Khusus FKPM di Pondok Modern Tazakka, Batang, Jateng pertengahan September 2018 lalu.

Pondok-Pondok pesantren yang menganut satuan pendidikan muadalah tidak sedikit, dan kebanyakan merupakan pesantren-pesantren besar dan tua.

Antara lain Pondok Pesantren Tremas (Pacitan), Sidogiri (Pasuruan), Al-Anwar Sarang (Rembang), Lirboyo (Kediri), Tebuireng (Jombang), Gontor (Ponorogo), Al-Amien Prenduan (Madura), Mathaliul Falah Kajen (Pati).

Lalu ada Al-Ikhlas (Kuningan), Al-Ikhlas (Sumbawa Barat), Darussalam (Garut), Darunnajah (Jakarta), Al-Basyariah (Bandung), dan Tazakka (Batang), serta ratusan pesantren lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jutaan santri.

Baca Juga :  Komisi X Dukung Penuh Zonasi Sekolah, Ini Alasannya

“Terus terang kami terkejut. Soalnya, sebelumnya kami sudah memberikan masukan dan revisi terhadap RUU Pesantren ini. Kami bahkan sudah beraudiensi dengan pimpinan DPR untuk menyerahkan usulannya,” tandas KH. Subhan Salim dari Mathaliul Falah, Kajen Pati.

Menurut KH. Subhan Salim, waktu bertemu dengan Fraksi PPP dan Fraksi PKB sebagai inisiator RUU dan Baleg DPR, draf usulan tampaknya disetujui.

“Lha kok tiba-tiba muncul draft baru yang sama sekali berbeda. Ini maksudnya apa dan maunya bagaimana?” tambah KH. Subhan Salim.

Sementra itu, menurut Ketua FKPM, KH. Amal Fathullah Zarkasyi, draf RUU Pesantren yang ada sekarang terlalu dominan pembahasannya tentang pendidikan diniyah, baik formal maupun informal.

Padahal, ada banyak sistem dan pola lain di luar pendidikan diniyah, seperti pendidikan pesantren itu sendiri dan satuan pendidikan muadalah.

“Draft RUU Pesantren yang telah direvisi itu secara konten telah disetujui oleh 200an kiai se-Jawa. Sehingga lahirlah Peraturan Menteri Agama (PMA) tahun 2014,” ujar KH. Amal Fathullah.

Menurut KH. Anang Rikza dari Pondok Modern Tazakka, perubahan draf RUU Pesantren yang muncul terakhir ini bisa dianggap melecehkan para kiai.

“Kok tiba-tiba tanpa pemberitahuan berubah semuanya. Jelaslah para kiai ini tidak terima,” sahut Kiai Anang.

Ditambahkan oleh KH. Dr. Tata Taufik, dari Pesantren Al-Ikhlas Kuninga, jika RUU ini tidak memberi tempat PMA, apalagi yang keluar berbeda, maka wajar jika menimbulkan kekecewaan dan protes keras dari banyak pesantren.

“Kalau begitu namanya bukan ingin meneguhkan peran pesantren dalam konteks mencerdaskan bangsa, tapi justru akan meminggirkan,” tandas KH Tata.

RUU Pesantren, lanjut Kiai Tata, sudah sewajarnya ada. Sebab, ini bentuk penghargaan negara kepada pesantren.

“Pesantren itu kan khas pola pendidikan Indonesia dan kontribusinya bagi bangsa ini tidak kecil. Selama ini hanya menjadi sub-sistem pendidikan, padahal keberadaan dan eksistensinya sangat besar,” katanya.

Baca Juga :  Ponpes Ihsanul Fikri Pabelan Peringati HSN dengan Tiga Agenda Besar

“Maka RUU Pesantren ini harusnya menguatkan, bukan melemahkan yang sudah ada. Harus mengakomodir semua, dan yang paling penting adalah menjaga independensi dan kekhasan pesantren,” tambahnya. (Siedoo)

Apa Tanggapan Anda ?