JAKARTA – Proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) saat ini menggunakan sistem baru, yaitu zonasi sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menginginkan, penerapan sistem zonasi ini untuk menghapuskan adanya pengelompokan sekolah favorit. Dengan demikian, status sekolah menjadi sama di mata masyarakat.
Sistem zonasi sudah diimplementasikan secara bertahap sejak 2016 yang diawali dengan penggunaan zonasi untuk penyelenggaraan ujian nasional. Lalu pada 2017, sistem zonasi untuk pertama kalinya diterapkan dalam PPDB, dan disempurnakan di 2018 melalui Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang menggantikan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB.
Pemanfaatan zonasi akan diperluas untuk pemenuhan sarana prasarana, redistribusi dan pembinaan guru, serta pembinaan kesiswaan. Ke depan, sistem zonasi bukan hanya untuk UN dan PPDB.
“Tetapi menyeluruh untuk mengoptimalkan potensi pendidikan dasar dan menengah,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Hamid Muhammad.
Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 diterbitkan untuk mengakomodasi hal-hal yang banyak dikeluhkan dalam permendikbud sebelumnya. Antara lain mengenai jumlah rombongan belajar (rombel) dan jumlah siswa. Seperti dikutip dari laman Kemendikbud, penerapan zonasi tahun ini dilakukan penyesuaian jumlah rombel dan jumlah siswa dalam rombel. Sehingga, dapat dicari solusi untuk permasalahan yang terjadi dalam implementasi zonasi pada PPDB tahun lalu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menjelaskan, melalui zonasi pemerintah ingin melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh. Menurutnya, zonasi merupakan salah satu strategi percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas.
“Target kita bukan hanya pemerataan akses pada layanan pendidikan saja. Tetapi juga pemerataan kualitas pendidikan,” jelasnya.
Diuraikan bahwa, kebijakan zonasi diambil sebagai respons atas terjadinya “kasta” dalam sistem pendidikan yang selama ini ada, karena dilakukannya seleksi kualitas calon peserta didik dalam penerimaan peserta didik baru. Ditegaskan bahwa, zonasi ini tidak boleh ada favoritisme sekolah.
“Pola pikir kastanisasi dan favoritisme dalam pendidikan semacam itu harus kita ubah. Seleksi dalam zonasi dibolehkan hanya untuk penempatan (placement),” katanya.
Adapun terkait penyesuaian jumlah rombel dan jumlah siswa, zonasi mempermudah pemetaan kebutuhan siswa di daerah. Salah satu dampak positif zonasi, seharusnya kepala dinas pendidikan sudah bisa membuat proyeksi tentang kebutuhan siswa baru.
Ia pun meminta kerja sama pemerintah daerah untuk mempercepat pemerataan pendidikan yang berkualitas. Salah satunya dengan melakukan penguatan peran guru dan peningkatan kualitas guru.
“Jadi dari MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), hingga KKG (Kelompok Kerja Guru), semua ada aturannya. Pembinaan guru akan dikonsentrasikan ke situ. MKKS seharusnya punya domain dalam menentukan kuota masing-masing sekolah,” tandasnya.