PURWOKERTO – Penghobi fotografi di kawasan Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah berkumpul bersama di kedai Kopi Kebon, Jalan HR Bunyamin. Mereka berdiskusi seputar perkembangan Kumpul Buku Foto bersama komunitas fotografi Kelompok Logawa. Selain dihadiri fotografer muda, acara ini juga disuport langsung salah satu Dosen Institut Teknologi Telkom Purwokerto Aji Susanto Anom.
“Kumpul Buku merupakan ruang diskusi bagi fotografer untuk memperkaya kemampuan literasi visual. Hal ini bertujuan memotivasi fotografer Banyumas untuk berani membukukan karyanya,” kata pegiat Kelompok Logawa, Anang Firmansyah.
Menurut dia, diskusi ini juga menjadi sarana berbagi dan menggali ide. Serta, cerita tentang fotografi, khususnya di Banyumas agar semakin berkembang.
Dosen Aji Susanto Anom M.Sn mendorong fotografer untuk mempublikasikan karyanya dalam bentuk buku. Di Banyumas, jumlah peghobi foto cukup banyak, namun tidak banyak yang publikasi karyanya melalui media cetak. Padahal, karya foto seseorang dapat diapreasi tanpa terkungkung waktu.
“Membuat buku foto itu mudah, tidak perlu jauh-jauh ke luar daerah,” terang Aji, yang juga mentor pada acara diskusi kumpul buku foto.
Aji menuturkan, pembuatan buku foto oleh sejumlah fotografer terkesan “sangat serius” saat penggarapan. Hal itu terlihat dari buku foto yang beredar di pasaran. Kebanyakan harus mengambil lokasi yang jauh hanya untuk membuat satu buku foto. Contohnya, fotografer Yoppy Pieter yang harus bolak balik ke Minangkabau saat membuat buku foto berjudul “Saujana Sumpu”.
“Sebenarnya isi buku foto bisa dari keseharian,” jelasnya.
Sementara itu, Kurniadi Widodo, yang merupakan tim penyusun kumpulan buku foto “The Flock Project”. Dia sendiri telah melahirkan sebuah buku foto dari hasil memotret acara televisi dari layar kaca atau televisi tabung miliknya.
Ide pembuatan buku foto bertajuk “Imajinasi, Televisi” ini, terinspirasi setelah melihat hasil cetakan yang kurang menarik. Secara garis besar, kumpulan foto itu ingin menunjukkan absurditas penonton televisi di Indonesia yang dicekoki dengan tayangan kurang mendidik.
“Dahulu membuat buku harus melalui penerbit. Tapi sekarang bisa dilakukan secara independen. Langsung datang ke percetakan atau melalui koneksi pribadi,” urainya.
Di sela diskusi, sejumlah buku foto dari dalam negeri juga dipajang, termasuk media cetak alternatif (zine) dari Banyumas Collective. Buku-buku foto tersebut digunakan sebagian pengunjung atau fotografer untuk menambah semangat untuk lebih memahami literasi tentang visual.
Kurniadi menyarankan, pembuat buku foto tak perlu khawatir dengan pemasaran. Hal itu bisa dilakukan secara mandiri atau dengan cara promosi di media sosial.
“Maksimalkan percetakan yang ada, jangan lupa pula kerjasama dengan toko buku atau komunitas lokal,” katanya.