SURABAYA – Perkembangan dunia industri di Indonesia mendapat sorotan. Terdapat beberapa alasan mengapa industri otomotif sulit berkembang di Indonesia. Peneliti mobil listrik nasional menganggap ada enam faktor yang menyebabkan lambannya pertumbuhan industri otomotif di Indonesia.
Menurut Direktur Pusat Unggulan IPTEKS (PUI) Sistem Kontrol Otomotif (SKO) Institut Teknologi Sepuluh Nopember Nur Yuniarto ST PhD, faktor itu mulai dari rendahnya goodwill di Indonesia, regulasi yang mematikan, kurangnya nasionalisme, pengembangan yang tidak terkoordinasi dan terintregasi. Serta, ketidakpercayaan pada bangsa sendiri.
“Hingga menghamba pada bangsa lain adalah hal-hal yang mematikan perkembangan industri otomotif di Indonesia,” kata Nur Yuniarto, peneliti mobil listrik nasional.
Dosen Teknik Mesin ITS tersebut menyampaikan itu saat Focus Group Discussion. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur menggandeng Dewan Riset Nasional (DNR), anggota legislatif DPR RI dan praktisi ITS menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk memberikan masukan kepada pemerintah terkait urgensitas inovasi dan kesiapan menyongsong era industri 4.0, di Rektorat ITS.
FGD merupakan bentuk respon cepat diberikan ITS atas peta jalan dan strategi Indonesia dalam menerapkan Revolusi Industri 4.0, Making Indonesia 4.0, yang dirilis Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Rabu (5/4/2018). Oleh karena itu, dalam forum ini juga dibahas mengenai wacana Undang-Undang Inovasi oleh Dewan Riset Nasional.
Acara itu menghadirkan pembicara antara lain Ir Irnanda Laksanawan MSc Eng PhD sebagai perwakilan dari DNR, anggota Komisi XI Badan Anggaran DPR RI Ir H M Romahurmuziy MT, Direktur Pusat Unggulan IPTEKS (PUI) Sistem Kontrol Otomotif (SKO) Nur Yuniarto ST PhD, Direktur Utama PT INTI Dr Darman Mappangara M Eng Sc MBA, serta Wakil Rektor ITS bidang Inovasi, Kerja Sama, Kealumnian, dan Hubungan Internasional ITS Prof Dr Ir Ketut Buda Artana ST MSc. Diskusi ini memusatkan perhatian pada peran perguruan tinggi dalam mendukung industri nasional melalui riset dan inovasi technopark.
Ketut Buda Artana menjelaskan, technopark adalah salah satu implementasi paling relevan dalam mewujudkan Revolusi Industri 4.0 Indonesia melalui perguruan tinggi. Di China, 25 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) berasal dari sektor technopark yang juga menyumbang 23 persen dari total pajak negara.
“Tentunya ini dapat menjadi acuan Indonesia tentang besarnya manfaat yang dapat diperoleh melalui sektor ini,” jelasnya.
Menurut dia, pengembangan bidang technopark ini juga selaras dengan visi ITS yang lebih dahulu mengembangkan kawasan technopark di wilayahnya. Saat ini ITS telah memiliki tiga Pusat Unggulan Iptek (PUI) dalam bidang otomotif, industri kreatif, dan maritim.
Hal ini diamini H M Romahurmuziy yang memaparkan bahwa pengembangan technopark telah sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 106 Tahun 2017 tentang Kawasan Sains dan Teknologi. Pembangunan kawasan sains dan teknologi tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran perguruan tinggi.
“Karena kembali lagi para pemikir bersarang di institusi,” ujar pemimpin salah satu parpol di Indonesia tersebut.
Menurut dia, jumlah PUI di Indonesia dapat mengakselerasi lahirnya inovasi baru di bidang teknologi. Inovasi yang lahir dari perusahaan hampir jarang terdengar, oleh karenanya perguruan tinggi memiliki pekerjaan rumah untuk merealisasikan riset-riset yang mereka miliki.
Pria yang akrab disapa Romi tersebut menyatakan, keberadaan ITS sebagai perguruan tinggi paling inovatif di Indonesia, dapat menjadi pelecut bagi perguruan tinggi lain. Yaitu, untuk terus melakukan riset dan inovasi demi kemajuan bangsa.
“Besar harapan saya, ITS dapat menjadi pioneer inovasi bidang sains dan teknologi di Indonesia guna menjawab tantangan di era Internet of Things ini,” tuturnya sembari tersenyum.
Sementara itu, Ketut, sebagai perwakilan dari perguruan tinggi, menyambut baik wacana tersebut. Guru Besar Teknik Sistem Perkapalan ini menyebutkan, nantinya UU Inovasi diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap upaya riset yang berujung pada arah komersialisasi dan inovasi. Selain itu perlu diatur pula jaminan bahwa kegiatan inovasi dan riset menadapatkan dana yang cukup dari pemerintah.
“Sehingga tidak ada lagi yang namanya kegagalan riset karena kekurangan dana,” celetuknya sembari tertawa.
Luaran dari FGD ini akan diterjemahkan ITS sebagai respon perguruan tinggi dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0.
“Nantinya, tentu akan berdampak pada sistem pendidikan, kelembagaan, hingga program strategis ITS ke depan,” jelasnya.