MAGELANG, siedoo.com – Pada tahun 1965, untuk pertama kalinya pemerintah melakukan pemugaran Candi Borobudur. Kepala Lembaga Purbakala, Soekmono, memimpin proyek ini. Namun di tahun yang sama, proyek terhenti.
Pada tahun 1967, Soekmono mengangkat isu pemugaran Borobudur di Kongres Orientalis di Amerika. Peserta kongres sepakat untuk mendesak UNESCO agar membantu Indonesia memperbaiki Candi Borobudur.
Di tahun 1969, UNESCO menyatakan siap membantu penyelamatan Borobudur dan menghimpun dana melalui kampanye internasional untuk membiayai pemugaran Borobudur.
Selain itu UNESCO juga menunjuk tenaga ahli dalam berbagai bidang untuk membantu Indonesia dalam merestorasi Candi Borobudur.
Tahun 1973 menjadi awal dimulainya proyek pemugaran Candi Borobudur. Kerja besar yang dikenal sebagai “Pemugaran ke-2 Candi Borobudur” itu secara resmi dimulai pada 10 Agustus 1973.
Sekitar 600 orang yang menjadi tenaga kerja proyek mulai digerakkan dengan tenaga penuh. Sesuai kesepakatan kerja sama dengan UNESCO, proyek ini harus selesai dalam 10 tahun.
Dalam dua tahun pertama, belum ada batu candi yang diturunkan. Tahun pertama digunakan untuk membangun fasilitas penunjang pemugaran, sedangkan pada tahun kedua para pekerja membongkar apa yang ditinggalkan pada proyek 1965, yaitu batu-batu pagar balkon atau pagar langkan yang disimpan di halaman candi.
Pada Mei 1975, pekerjaan yang sesungguhnya dimulai. Para pekerja mulai membongkar tubuh candi.
Salah satu tokoh pemugar Candi Borobudur, Dr. I Gusti Ngurah Anom, mengisahkan proses pemugaran Candi Borobudur secara singkat. Di awal pemugaran, tuturnya, para ahli mencoba melakukan penelitian mengenai penyebab kerusakan pada struktur candi.
“UNESCO kemudian mengirimkan ahli untuk meneliti. Ternyata ada dua penyebabnya. Pertama, air yang masuk ke celah-celah candi, masuk ke dalam candi yang terbuat dari tanah, lalu tanahnya keluar melalui celah batu sehingga fondasinya lesak.
Kedua, penyebabnya mikrobiologi. Jadi karena jamur, ganggang, atau kerak,” ujar Anom saat peresmian Prasasti Pelaku Pemugaran Candi Borobudur di Pelataran Kenari, Kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, baru-baru ini.
Proyek pemugaran Candi Borobudur menyasar lantai-lantai candi yang melesak dan dinding-dinding yang miring. Proyek juga berusaha menempatkan batu-batu penyusun candi ke tempatnya semula.
Namun hal terpenting dari proyek ini adalah usaha untuk memecahkan kendala menahun yang mendera candi Borobudur, yaitu air hujan. Untuk mengatasi air yang merembes ke dalam candi dan tanah di bukit tempat candi berdiri, pekerja membuat saluran air dan membuat lapisan-lapisan kedap air di dalam struktur candi.
Saluran drainase itu berawal dari lubang-lubang candi dan bermuara di sumur-sumur penampungan air pada kaki bukit. Pipa- pipa ini berguna untuk secepatnya membuang air hujan yang mengguyur candi. Berkurangnya air ke dalam bukit tempat candi berdiri, laju erosi bukit akan berkurang, tanah bukit yang akan menjadi tempat berdiri candi stabil.
Anom menuturkan, salah satu langkah awal yang dilakukan saat itu adalah mendidik para tenaga pemugar. Calon tenaga pemugar dari lulusan SMA dan STM mendapatkan pendidikan terlebih dahulu di Candi Borobudur di bawah bimbingan beberapa perguruan tinggi, antara lain Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung.
“Ada bantuan juga berupa teknologi dari para ahli di luar negeri, tapi tidak banyak. Itulah pertama kalinya diadakan diklat formal pemugaran Candi Borobudur yang dilakukan secara lisan, kemudian dilanjutkan di dalam kelas, lalu lanjut praktik langsung di sini (Candi Borobudur). Diklat kira-kira berlangsung selama dua tahun. Di antara peserta diklat ada juga yang disekolahkan keluar negeri, termasuk saya,” tutur Anom.
Ia mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang diperoleh Indonesia dari pemugaran kedua Candi Borobudur. Pertama, secara fisik, Candi Borobudur dapat berdiri 100 persen dengan megah dan utuh, di lingkungan yang bersih dari polusi karena dikelilingi taman yang asri.
“Kedua, yang kita dapat dari proyek pemugaran itu adalah alat dan teknologi. Pemugaran Cagar Borobudur menggunakan teknologi yang canggih pada saat itu,” ujarnya.
Ketiga, lanjut Anom, hal yang tak kalah penting adalah sumber daya manusia (SDM). Saat itu Indonesia sudah memiliki SDM yang cukup untuk melakukan pekerjaan besar dalam pemugaran Candi Borobudur.
Anom menjelaskan, kantor-kantor purbakala kebudayaan di seluruh Indonesia kemudian mengirimkan perwakilan SDM-nya ke Candi Borobudur untuk mendapatkan pelatihan pemugaran candi sehingga teknologi pemugaran Candi Borobudur tersebar di seluruh Indonesia.
“Hal ini dicium oleh ASEAN. Jadi Sekretariat ASEAN menunjuk Balai Konservasi Borobudur sebagai pusat pendidikan dan pelatihan restorasi bangunan peninggalan sejarah purbakala. Lalu timbul diklat-diklat tingkat ASEAN yang durasinya antara 3 sampai 6 bulan, paling lama 9 bulan. Inilah yang dihasilkan oleh Borobudur,” katanya.
Anom kemudian kembali menekankan pentingnya peran teknologi dalam melestarikan bangunan-bangunan purbakala.
“Yang penting adalah bagaimana sekarang agar teknologi yang diciptakan Borobudur itu bisa dikagumi oleh bangsa lain, setidaknya di negara ASEAN, dan dapat dikembangkan sesuai dengan teknologi modern yang sekarang ini. Ini yang saya kira lebih penting,” tegasnya.
Dengan begitu, lanjutnya, Candi Borobudur tidak lestari sendiri, melainkan juga ikut melestarikan monumen-monumen bersejarah lain di Indonesia dan Asia Tenggara.
“Ini yang saya kira penting untuk dikembangkan di masa yang akan datang,” katanya. (kemdikbud/siedoo)