BANDUNG – Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan, setidaknya diperlukan dua hal dimana pemerintah berperan penting. Pertama, adalah optimalisasi pengelolaan hasil SDA agar manfaatnya masih dapat dirasakan generasi mendatang. Kedua, adalah bagaimana jasa-jasa ekosistem bukan hanya dapat dikenali oleh pelaku ekonomi.
Tetapi menjadi bagian terpisahkan dari keputusan-keputusan ekonomi mereka. Pemerintah dapat berperan untuk membantu internalisasi eksternalitas lingkungan melalui berbagai instrumen kebijakan.
“Trade-off antara pertumbuhan, keadilan dan lingkungan, bukanlah sesuatu yang alamiah dan tak bisa dihindari,” jelas Prof. Arief Anshory Yusuf, S.E, M.Sc., Ph.D.
Ia menyampaikan itu saat membacakan orasi ilmiah berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ekonomi Lingkungan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jawa Barat. Pada kesempatan tersebut, orasi ilmiah dibacakan Prof. Arief dengan judul “Trade off Antara Pertumbuhan, Keadilan, dan Lingkungan: Mitos atau Realitas?”.
Menurut dia, trade-off itu hanya menjadi realitas kalau itu satu-satunya pilihan. Padahal, pilihan-pilihan lain dalam mengelola pembangunan tersedia. Hanya perlu membuka diri terhadap paradigma-paradigma baru, berpikir dan bekerja sedikit lebih keras, dan bersinergi.
“Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Kalau kita percaya itu, trade-off antara pertumbuhan, keadilan, dan lingkungan hanyalah mitos. Pembangunan berkelanjutan adalah realitas,” ungkapnya.
Tidak banyak yang menyadari bahwa keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan merupakan amanat yang tertuang dalam UUD 1945. Sayangnya, keseimbangan tersebut nampaknya belum dapat sepenuhnya terwujudkan setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka.
Selain masalah sosial seperti ketimpangan dan kemiskinan, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan dengan bencana terkait perubahan iklim.
Ia menyampaikan, adanya konflik antara agenda pertumbuhan ekonomi, keadilan ekonomi, dan lingkungan sering diartikan sebagai sesuatu yang alamiah. Sehingga, trade-off antara ketiganya sering dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Lebih lanjut Prof. Arief menjelaskan bahwa green economy sering didefinisikan sebagai sistem ekonomi yang selain mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial, juga bisa mengurangi kerusakan alam dan lingkungan. Paradigma ini dapat menjadi anti-tesis dari trade-off antara pertumbuhan dan lingkungan.
Pria kelahiran Bandung, 19 Oktober 1972 ini, berpendapat pertumbuhan inklusif dapat menghilangkan trade-off antara pertumbuhan dan ketimpangan. Dan, green economy dapat menghilangkan trade-off antara pertumbuhan dan lingkungan. Pertumbuhan inklusif dan green economy tidak bisa terjadi dengan sendirinya karena sistem ekonomi pasar yang dianut, buta dengan keadilan dan eksternalitas lingkungan.
Ketimpangan dan kerusakan alam bukan bagian dari hitung-hitungan untung rugi para pelaku ekonomi. Oleh karena itu, peran negara sangat diperlukan untuk melakukan koreksi-koreksi.
“Dalam keadilan ekonomi, misalnya, melalui pemerataan kesempatan dalam konteks pengembangan human capital. Terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, serta penguatan perlindungan sosial,” katanya.