Siedoo, Bakteri tak boleh dipandang sebagai jasad tak kasat mata dan merugikan manusia saja. Jika dikaji lebih jauh, bakteri ternyata dapat memberikan banyak manfaat untuk kemajuan di bidang sains dan teknologi.
“Ke depan, saya berharap dapat terus menyumbangkan karya kepada ITS dan bangsa Indonesia,” kata Prof Dr Enny Zulaika M P, salah satu guru besar (gubes) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur.
Ia menyampaikan itu dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai gubes ITS. Pengukuhan itu berkaitan dengan kebutuhan hunian dan sarana transportasi yang semakin meningkat menjadikan penggunaan lahan gambut sebagai suatu pilihan yang tak dapat dihindari.
Hal tersebut rupanya juga menimbulkan peningkatan pencemaran logam berat. Ibu tiga anak ini memberikan alternatif berupa pemanfaatan bakteri yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan di atas tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan.
Enny menjelaskan bahwa tanah gambut pada dasarnya mempunyai angka pori dan kadar air yang sangat tinggi. Hal tersebut menyebabkan daya dukung tanah menjadi rendah dan kemampuan memampatnya sangat lama.
“Padahal, proses dekomposisi perlu dipercepat agar pemampatan dan penurunan kekuatan geser tanah tidak terjadi setelah konstruksi dioperasikan,” ungkap dosen Departemen Biologi tersebut.
Oleh karena itu, alternatif yang dapat digunakan adalah dengan metode biologi ramah lingkungan, yakni melalui bioaugmentasi bakteri lignoselulolitik lokal gambut. Dengan metode tersebut, stabilisasi agregat gambut akan dapat dipercepat dan layak untuk dikonstruksi.
“Setelah melewati uji biokimia, metabolisme, fisiologi, dan PCR gen 16S rRNA, bakteri gambut teridentifikasi sebagai Pseudomonas taiwanensis U3-MT373534 dan B. cereus U4-MT373535,” terang Enny yang menuangkan penelitiannya ini dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai gubes ITS.
Perempuan kelahiran Madiun, 9 Januari 1960 tersebut menambahkan, bakteri gambut umumnya bersifat lignoselulolitik dan dapat mendegradasi lignin dan selulosa secara enzimatik. Proses dekomposisi serat gambut oleh bakteri dapat dibuktikan dari perubahan struktur gugus kimia fungsionalnya yang menjadi lebih sederhana dengan menggunakan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR).
Bakteri gambut tersebut, mampu mendekomposisi serat gambut lebih dari 80 persen. Bakteri yang disebut-sebut sebagai bakteri unggul itu juga dapat dilepas kembali ke lahan gambut agar dapat berkembang biak.
“Hal tersebut dilakukan agar ketika gambut yang berfungsi sebagai sumber nutrisi sudah habis, bakteri dapat beralih ke gambut di sekitarnya untuk mencukupi nutrisi,” paparnya.
Di samping itu, untuk kasus logam berat, Merkuri (Hg) adalah salah satu penyumbang pencemaran terbesar lingkungan yang belum diketahui fungsi biologisnya secara jelas. Meski Menteri Kesehatan RI telah mensyaratkan konsentrasi merkuri yang diperbolehkan sebesar 0,001 ppm, namun teknik pengurangan logam berat harus segera diupayakan.
“Masalahnya, meski saat ini banyak penelitian yang dikembangkan terkait logam berat, namun biaya yang dikeluarkan cukup mahal,” tuturnya.
Bakteri memang dapat digunakan sebagai alternatif untuk bioremediasi. Strain bakteri cereus yang didapatkan dari Kalimas Surabaya, misalnya. Menurut Enny, bakteri tersebut mampu mengurangi logam Hg dan Cd lebih dari 50 persen serta logam Pb, Cu, dan Fe lebih dari 75 persen.
“Dengan bakteri tersebut, pemulihan pencemaran dapat lebih cepat, bersifat renewable, dan biayanya relatif murah,” tegasnya. (*)