Siedoo, Sebuah invensi yang dikembangkan sejak tahun 2017 oleh tim peneliti dari Departemen Teknik Instrumentasi Institut Teknologi Surabaya (ITS) berhasil mendapatkan paten. Paten diperoleh dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DTKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) RI.
Melalui pengembangan Sistem Pemurnian Biogas Otomatis dengan Teori Kelarutan Gas oleh Air, dosen ITS Arief Abdurrakhman, S.T., M.T. raih hak paten. sebuah keberhasilan bersama kelima mahasiswa Teknik Instrumentasi ITS. Arief menuturkan bahwa dibuatnya produk tersebut berdasarkan keprihatinan bersama dalam melihat pemanfaatan potensi sumber daya alam, utamanya energi terbarukan.
Diketahui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah telah berkomitmen dalam merealisasikan penyediaan listrik sebesar 35 ribu Megawatt (MW). Sejumlah 25 persen dari target tersebut diupayakan berasal dari energi terbarukan.
“Potensi sumber daya alam Indonesia sungguh luar biasa. Tetapi baru 15 persen saja yang terpenuhi menjadi energi terbarukan,” ungkap Arief di laman its.ac.id (25/6/2020).
Untuk itu, Kepala Subdirektorat Pengembangan Kewirausahaan dan Karir ITS ini berupaya mengoptimalkan pemanfaatan biogas menjadi sumber energi terbarukan. Analisis timnya menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur yang berfokus pada sektor peternakan belum maksimal. Yaitu dalam memanfaatkan limbah kotoran sapi sebagai bahan baku primer biogas secara maksimal.
“Padahal dari sekitar 20.000 reaktor biogas yang ada di Indonesia, sekitar 7.000 – 8.000 di antaranya ada di wilayah Jawa Timur,” tambahnya.
Menurut Arief, minimnya optimalisasi pemanfaatan biogas tersebut bukanlah tanpa alasan. Arief menjelaskan bahwa biogas langsung dikeluarkan dari reaktor ke alam bebas dapat menimbulkan bahaya. Hal ini diakibatkan tidak hanya metana yang ada dalam kandungan biogas, tetapi terdapat juga kandungan pengotornya.
“Seperti hidrogen sulfida dan karbondioksida yang berpengaruh pada efek rumah kaca dan menjadi sebab timbulnya pemanasan global,” sambungnya.
Dosen kelahiran 12 Juli 1987 tersebut menjelaskan, pada reaktor biogas yang belum dilengkapi dengan alat pemurnian, kandungan pengotornya dapat mencapai 40 – 50 persen. Akibatnya, surplus biogas yang dihasilkan industri rumah tangga tersebut tidak bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat.
“Hal ini dikarenakan biogas dengan kandungan pengotor tinggi yang langsung dialirkan ke genset akan menimbulkan kerusakan pada mesin generator,” jelasnya.
Atas dasar tersebut, Arief dan tim menggagas sebuah sistem pemurnian biogas dengan mengandalkan bahan-bahan yang relatif mudah didapat. Mengingat sistem pemurnian biogas yang banyak ada di luar negeri biasanya berskala industri, Arief dan tim mengupayakan pembuatan untuk skala rumah tangga.
“Khususnya untuk membantu para peternak sapi untuk bisa mengkonversi biogas dari kotoran sapi menjadi energi listrik,” urainya.
Dengan produk sistem pemurnian biogas yang dibuatnya, Arief mengungkapkan bahwa komposisi biogas yang dihasilkan bisa mengandung 80 – 90 persen metana. Semakin banyak kandungan metana dalam biogas, maka semakin layak pula untuk dialirkan ke genset karena tidak banyak polutan yang terkandung di dalamnya.
“Oleh karena itu, pada ruang pembakaran dalam genset akan lebih banyak memanfaatkan suplai metana,” terang alumnus Teknik Fisika ITS tersebut.
Dengan adanya paten produk purifikasi biogas ini, Arief dan tim berencana untuk membuat packaging yang lebih compact dan memproduksi secara massal. Sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik oleh peternak yang memiliki reaktor biogas. Dengan demikian, dapat dihasilkan biogas yang digunakan sebagai sumber energi listrik dan dapat menghidupkan peranti elektronik di perdesaan.
“Kami berharap akan hadir Desa Mandiri Energi yang dapat mencukupi energi listrik secara mandiri,” ujarnya. (*)