Siedoo, Memang di pemerintah dibutuhkan standarisasi, sehingga diperlukan ujian nasional (UN). Hal itu sebagai pemetaan. Standarisasinya juga jelas, karena soalnya sama. Kalau ternyata nanti lebih mengedepankan portofolio, arahannya adalah apa yang sudah diperbuat siswa melalui pembelajaran di sekolah.
Kemudian hal itu dijadikan tolak ukur target ketercapaian siswa dan bisa menjadi pengganti. Karena, dalam Undang-Undang Sisdiknas tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang cerdas, bertaqwa, terampil, demokratis dan seterusnya. Sehingga, nantinya siap untuk di masyarakat.
Mengembangkan potensi peserta didik, setiap peserta didik mempunyai potensi berbeda-beda. Ada yang otak kirinya bagus. Otaknya kanannya kurang atau sebaliknya. Bahkan ada yang keduanya. Maka ada yang akademisnya bagus tapi skill-nya kurang. Ada yang skill-nya bagus tapi akademisnya kurang. Hal itu harus diwadahi semua.
Sementara memang banyak pakar yang melihat bahwa ujian nasional itu masih menyamakan ratakan potensi peserta didik. Jika nantinya mengarah kepada hal seperti di Singapura, misalnya ada yang akademiknya bagus kemudian masuk ke sekolah umum dan nanti bisa mengambil di suatu perguruan tinggi. Kalau yang keterampilannya bagus, nanti masuknya di kejuruan. Kemudian kalau kuliah, masuknya di politeknik.
Kalau memang nanti tuntutan kedepannya di Indonesia sudah link and match antara sekolah dengan pangsa pasar kebutuhan dunia kerja, maka akan meninggalkan itu. Mengingat yang dinilai skill-nya dan profesionalismenya.
Jika mindset masyarakat sudah menerima itu, tidak masalah mau diganti portofolio, karena itu memang tuntutan. Namanya pendidikan itu berkembang dan dinamis.
Dulu pernah menggunakan sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Lama-lama kurang cocok lalu berkembang lagi sekarang menggunakan scientific approach. Maka sekarang ada betulnya juga siswa tidak sekedar mendapatkan hal di sekolah. Tapi, kemampuan apa yang bisa dilakukan di sekolah. Pemikirian Mas Menteri (Mendikbud Nadiem Makarim) seperti itu.
Memberikan kepercayaan kepada siswa untuk berbuat sesuatu, sehingga siswa mempunyai potensi yang bisa dikembangkan. Tidak hanya sekadar mendapatkan ilmu apa hari ini, tapi bisa berbuat apa hari ini. Menurut saya, kalau perkembangannya seperti itu tidak masalah karena pendidikan memang dinamis.
Negara-negara maju yang termasuk anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) itu pendidikannya maju. Ada juga organisasi terkait pendidikan di dunia yaitu Programme for International Student Assessment (PISA), pernah membuat peringkat tentang literasi, kemampuan matematika dan sains. Indonesia peringkatnya tertinggal jauh. Yang bagus ternyata bukan Jepang tapi China.
Sebetulnya di Indonesia banyak pelajar yang cerdas. Mungkin ketepatan dalam membuat kebijakan sistem pendidikan yang perlu dikaji lebih dalam. Seolah-olah ganti menteri ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum. Rata-rata hampir seperti itu walaupun sepertinya tidak. Tetapi tidak di-manage dari awal sesuatu yang berkesinambungan. Jadi siapapun menterinya mestinya program jangka panjangnya berjalan terus.
Tidak dipangkas KBK menjadi kurikulum 2006. Ganti lagi sekarang menjadi 2013. Seolah-olah rutin setiap 10 tahun ada pergantian kurikulum. Memang tidak ada yang tidak baik, semuanya itu bagus. Sekarang selain penerapan Kurkulum 13 ditambahi lagi tentang literasi, Communication, Collaboration, Critical Thinking and Problem Solving, dan Creativity and Innovation (C4), Higher Order Thinking Skills (HOTS), Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan masih banyak lagi. (*)
Nurwiyono S.N, M.Pd
Kepala SMP N 1 Magelang, Jawa Tengah