JAKARTA – Amanat untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional dimuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan. Pasal 44 UU tersebut menyatakan bahwa bahasa Indonesia harus menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
Saat ini sudah lebih dari 45 negara, dan 300 lembaga di dunia yang mengajarkan bahasa Indonesia. Diterangkan Dadang Sunendar, ada beberapa syarat agar bahasa Indonesia bisa ditetapkan sebagai bahasa internasional, diantaranya, memiliki penutur yang banyak.
Lalu, lanjutnya, bahasa yang mudah dipelajari, bahasa tersebut tidak hanya digunakan di satu negara saja, stabilitas ekonomi politik negara tersebut harus baik, dan sikap masyarakat Indonesia terhadap bahasanya.
Tantangan terbesar, menurut Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Dadang Sunendar, masih terdapat di dalam negeri.
“Sikap mengutamakan bahasa negara dibanding bahasa asing inilah yang harus kita benahi. Ruang-ruang publik kita masih menggunakan bahasa asing dibanding bahasa Indonesia,” kata Dadang.
Dijelaskan Dadang, pihaknya tidak anti bahasa asing. Hal tersebut sesuai slogan lembaga yang dipimpinnya, yaitu “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”.
Secara umum, tidak terdapat masalah dengan kedaulatan bahasa negara. Hanya saja, menurut Dadang, tantangan pengutamaan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara masih kerap ditemui.
“Di ruang publik, sekelompok orang harus kita ingatkan terus mengenai penggunaan bahasa negara. Jadi ada pengutamaan dalam penggunaan bahasa negara, kemudian bahasa daerah dan terakhir bahasa asing,” jelasnya.
“Mudah-mudahan selama syaratnya sudah kita penuhi, saya optimis di tahun 2045 bahasa Indonesia masuk dalam jajaran bahasa internasional,” kata Dadang.
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Hariyono, mengungkapkan bahwa bahasa memiliki peran penting dalam perekat kehidupan berbangsa dan bernegara, meskipun mungkin bukan satu-satunya perekat.
“Ini yang barangkali perlu kita sepakati bersama karena di dalam merawat kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipentingkan adalah jangan sampai terjadi misinterpretasi, miskomunikasi. Dalam komunikasi itulah diperlukan bahasa yang sama sehingga pemaknaan di dalam proses komunikasi itu tidak mengalami sebuah distorsi,” kata Hariyono.
Dilanjutkan Hariyono, untuk membuat bahasa tetap terjaga dan proses pembudayaannya berjalan baik, diperlukan sebuah lembaga yang bisa merawat dan bisa bertanggung jawab agar bahasa itu tetap bisa dijaga karena bahasa bukan sekedar tata bahasa melainkan juga pola pikir.
“Orang yang bahasanya baik umumnya memiliki konstruksi berpikir yang baik sehingga dalam proses berkomunikasi tidak mudah menimbulkan salah persepsi,” tuturnya.
Disebutkan Hariyono, tantangan bangsa Indonesia ke depan sebagai sebuah bangsa di era disrupsi yang begitu besar adalah sering terjadinya miskomunikasi yang berujung konflik. Pembangunan infrastruktur fisik memang penting, tetapi jika tidak diiringi dengan infrastruktur nilai, maka bisa terjadi konflik di masyarakat.
“Untuk menjembatani itu diperlukan bahasa. Kami dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila menganggap kalau Pancasila tidak disosialisasikan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak mungkin kita bisa hidup berbangsa dan bernegara yang benar,” pungkas. (Siedoo)