JAKARTA – Sertifikasi kompetensi diperlukan secara merata, baik bagi mahasiswa vokasi, dan dosen vokasi. Hal ini untuk meningkatkan kepercayaan industri dan masyarakat terhadap lulusan perguruan tinggi vokasi di politeknik dan universitas di Indonesia.
“Mahasiswanya kita dorong harus punya sertifikat kompetensi, tapi ternyata dosennya tidak punya sertifikat kompetensi, maka perlu dilakukan yang namanya retooling,” kata Menristekdikti Mohamad Nasir.
Diakuinya, ia sudah melakukan secara besar-besaran pada 2018 ini, meng-upgrade para dosen yang belum mendapatkan sertifikat kompetensi pada bidangnya, untuk mendapatkan sertifikat kompetensi.
“Apakah di tingkat nasional maupun internasional,” akunya.
Dalam upaya memberikan sertifikasi kepada para dosen, ‘retooling’ atau pengenalan teknologi terbaru kepada para dosen, Kemenristekdikti masih kesulitan mencari para dosen yang berkeinginan untuk mengikuti ‘retooling’ ke luar negeri, seperti Kanada, Swiss, dan Jerman.
“Kalau yang internasional, bujet akan kita keluarkan. Bahkan tahun lalu saya menganggarkan sampai dua ribu orang. Ternyata yang daftar hanya tiga ratus – empat ratus. Ternyata tidak mudah mencari orang. Dosen kita banyak, tapi ternyata tidak mudah mencari yang siap mengikuti program ini,” ungkap Menristekdikti.
Menteri Nasir juga menyoroti, dengan adanya pendidikan vokasi yang dekat dengan industri, banyak potensi daerah yang bisa diunggulkan. Apabila para pekerjanya memiliki sertifikasi profesi dan bekerja sesuai standar profesional.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Rosan Perkasa Roeslani mengungkapkan di Indonesia, mayoritas tenaga kerjanya masih membutuhkan pelatihan, pendidikan vokasi, dan sertifikasi profesi.
“Kalau kita lihat struktur dari sumber daya manusia kita dari para tenaga kerja kita, ternyata cukup mengkhawatirkan,” tandasnya.
Dibeberkan, total tenaga kerja Indonesia dari data Kementerian Tenaga Kerja, ada 130 juta orang, dimana 40 persen latar belakang pendidikannya sekolah dasar. 18 persen itu sekolah menengah pertama atau SMP. Hanya 12 sampai 13 persen yang mempunyai latar belakang diploma atau universitas.
“Kalau dilihat struktur tenaga kerja kita seperti ini, bagaimana kita punya tenaga kerja yang produktif, yang beradaptasi secara cepat dan bisa mendorong competitiveness kita?” cetusnya.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Swiss merangkap Liechtenstein Muliaman Darmansyah Hadad mengatakan masalah pendidikan vokasi yang kurang diminati industri dan masyarakat, dihadapi tidak hanya di Indonesia, tapi negara lainnya.
“Bukan cuma di negara kita, setelah saya check perkembangan di beberapa negara, ini juga menjadi second option, pendidikan vokasi ini. Ini kita harus ubah mindset ini,” jelasnya.
Ia mengira industri juga kadang-kadang enggan untuk mempekerjakan lulusan-lulusannya (pendidikan vokasi). Ia menduga ini terkait link and match issues.
“Apa yang dipelajari dan apa yang dibutuhkan kadang-kadang tidak pas,” ungkapnya.
Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman S. Simanjuntak mengatakan perlu ditingkatkan banyak kegiatan yang bekerja sebagai penyaring, untuk pendidikan dual system, pendidikan yang berjalan di kelas, sekaligus di tempat kerja.
“Saya berharap ada peningkatan kegiatan tersebut, tapi juga mendiskusikan bagaimana mengarahkan kegiatan tersebut untuk mendukung sistem pendidikan vokasi di level nasional,” ungkapnya. (Siedoo)