Siedoo, Guru Besar Keahlian Farmakologi-Farmasi Klinik, Sekolah Farmasi ITB Prof. I Ketut Adnyana, menyampaikan bahwa, saat Ramadhan, puasa dapat memperbaiki pola metabolisme tubuh. Ini berarti proses pengolahan makanan menjadi energi di dalam tubuh akan terjadi lebih cepat.
Sehingga energi tubuh bisa dialokasikan untuk kegiatan lain selain mengolah makanan. Namun, perubahan metabolisme juga bisa menjadi malapetaka jika tidak dimanfaatkan dengan benar.
“Metabolisme yang efisien membuat kita merasa bahwa kita terus ‘sanggup’ untuk makan. Efeknya kita jadi makan terus walau sadar sebenarnya tidak sedang mengalami lapar,” ujar Prof. I Ketut Adnyana seperti diwartakan laman itb.ac.id.
Karena hal di atas, orang yang menjalankan puasa ataupun pola diet lainnya malah bisa menjadi lebih berat bobotnya ketika kembali ke pola makan normal.
Waspadai fenomena ‘diet yoyo’
Setelah selesai puasa di bulan Ramadhan, kemudian langsung disuguhi makanan-makanan saat Lebaran, orang bisa saja kalap makan.
“Akhirnya makan-makanan yang berlebihan secara tidak sadar, ini yang biasa disebut dengan fenomena diet yoyo,” jelas Prof. I Ketut.
Dosen ITB kelahiran Bali ini menjelaskan, kenapa bisa mau makan tapi tidak dalam keadaan lapar? Pada dasarnya, lapar manusia bisa dibagi dua, ada lapar fisiologis dan lapar psikologis.
Lapar fisiologis itu otomatis dari tubuh, kalau memang energi tubuh kurang, maka tubuh akan ’meminta’ makan. Kalau lapar psikologis, itu keinginan manusia tanpa memperdulikan rasa lapar.
Oleh karena itu, lanjut Prof. I Ketut, sebenarnya puasa sangat ampuh untuk belajar menghilangkan lapar psikologis. Kalau yang lapar fisiologis, tak perlu takut, tubuh sudah otomatis mengaturnya.
“Soal adaptasi tubuh dari tidak puasa menjadi puasa paling hanya butuh 3-4 hari,” tambah pria yang menyelesaikan gelar doktornya di Jepang ini.
Perhatikan pola makanan Lebaran
Selain menahan diri ketika menikmati momen Lebaran, Prof. I Ketut juga memberikan tips untuk menjaga pola makanan saat lebaran.
“Ada dua hal yang saya rasa penting untuk dijaga, bahan makanan dan cara memasaknya,” ujarnya.
Profe. I Ketut menambahkan, bahan makanan yang disarankan adalah bahan makanan berserat, seperti sayur dan buah. Kedua makanan berserat tersebut bisa membantu mengenyangkan juga mudah diolah oleh tubuh.
“Cara masak, termasuk sajiannya juga penting loh ya, balik lagi, psikologis itu penting. Jadi kita harus bisa membuat makanan sehat terlihat enak,” tandasnya.
Kemudian soal gizi tubuh, ia mengatakan tiap orang harusnya bisa mengenal diri sendiri sehingga tidak perlu ada konsumsi obat-obatan khusus. Ini bergantung usia dan aktivitas juga, tua atau muda, baik sibuk atau tidak, itu pasti beda-beda kebutuhan gizinya.
Kalau memang perlu adanya vitamin khusus, tubuh pasti akan memberi tanda. Setelah itu baru bisa memilih obat spesifik untuk kebutuhan tubuh. Memang setiap manusia perlu gizi dasar seperti protein, karbohidrat, lemak, dan mineral lainnya.
“Namun itu semua sudah cukup dan bisa didapatkan dari makanan sehari-hari,” jelas Prof. I Ketut Adnyana. (*)