JAKARTA – Remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan cenderung selalu ingin bereksplorasi. Apabila hasrat remaja bereksplorasi ini tak dibarengi pertimbangan, maka dapat menimbulkan tindakan-tindakan berisiko bagi dirinya, orang lain maupun lingkungan.
Kepala Subbag Direktorat Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja dari Kementerian Kesehatan, Wara Pratiwi mengatakan, umumnya remaja masih labil dan tidak sepenuhnya memahami konsekuensi dari perbuatannya.
Mereka lebih mudah mengikuti temannya dibandingkan orang tua atau guru. Karena itu, guru dan penyuluh kesehatan remaja perlu memahami tentang psikologi remaja.
“Kesehatan reproduksi kerap disalahartikan secara sempit hanya sebagai hubungan seksual. Sehingga banyak orang tua yang merasa tidak pantas membicarakannya dengan remaja. Padahal, kesehatan reproduksi merupakan keadaan fisik, mental, dan sosial yang sangat penting agar dimengerti oleh remaja,” tuturnya.
Kepala Subbag Direktorat Program dan Evaluasi, Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Tina Jupartini menjelaskan, peran orangtua sangat penting. Dalam hal pemahaman kesehatan reproduksi yang benar dan utuh melalui cara-cara penuh keakraban dan persahabatan dengan anak. Tapi, sayangnya banyak orangtua yang mengabaikan hal itu.
“Maka, sebagai profesi yang melekat dengan keluhuran budi, guru perlu mengambil peran memberikan pemahaman yang benar dan utuh tentang kesehatan reproduksi terhadap anak. Hal itu merupakan upaya menghindarkan anak dari pemahaman serta perilaku keliru tentang kesehatan reproduksi dari sumber-sumber sesat dan menjerumuskan,” jelas Tina.
Perlahan tapi pasti, harus diupayakan dialog serta kerjasama yang lebih intens antara orangtua dan guru. Terkait materi serta metode pembekalan yang tepat tentang pendidikan menjelang dan pasca akil balig kepada anak oleh orangtua di dalam keluarga. (Siedoo)