Siedoo.com -
Opini

Menilik Kepedulian R.A. Kartini Terhadap Pendidikan

Siedoo, Bila dengan sebenarnya hendak memajukan peradaban, maka haruslah kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi sama-sama dimajukan.”

Itulah sepenggal kalimat R. A. Kartini dalam bukunya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Buku tersebut merupakan kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini kepada kenalan-kenalannya. Seperti dikirimkan kepada Abendanon, Estelle H. Zeehandelaar, Ovink-Soer, dan lain-lain.

Kalimat di atas menyiratkan begitu dalam perhatian Kartini tentang Pendidikan. Baik pendidikan keilmuan (kecerdasan berpikir), maupun pendidikan karakter (kecerdasan budi).

Peran perempuan dan ibu

Bagi Kartini, perempuan dan ibu merupakan orang yang banyak membantu untuk mempertinggi derajat budi manusia. Dari perempuan atau ibu itulah manusia mendapatkan pendidikannya yang pertama. Dari ibu mereka kemudian belajar merasa, berpikir, dan berkata. Pendidikan pertama itulah, kata Kartini, sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang.

R.A. Kartini lahir di Mayong, Jepara, 21 April 1879 kemudian sekolah Belanda di Jepara tempat kedudukan bapaknya menjadi bupati, R. M. Adipati Ario Sosroningrat.

Emansipasi wanita yang disuarakan Kartini bermula dari kondisi perempuan Indonesia saat itu yang nyaris seperti tak punya hak untuk belajar. Dari hal itu, tergambar betapa dalam kepedulian Kartini terhadap pendidikan.

Sebagai perempuan yang berasal dari kalangan kaum ningrat, Kartini bersyukur bisa memperoleh pendidikan sehingga ia bisa menjalin korespondensi dengan sahabat-sahabat Belanda-nya. Meski tubuhnya berada di dalam tembok keputren, tetapi jiwanya melanglang buana. Karena pendidikan yang diperolehnya menjadikan ia mampu berkelana dalam perjalanan pemikiran yang tanpa batas.

Menuangkan ide-ide, keinginan untuk memperjuangkan hak perempuan agar memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan seperti kaum pria. Berpikir kritis, sekaligus upaya mencari solusi atas semua kegelisahan jiwanya, adalah gambaran umum yang terungkap dalam surat-surat Kartini. Surat-surat yang ditujukan kepada dua sahabatnya, Stella Zeehandler dan Nyonya Abendanon.

Baca Juga :  Penerapan New Normal, Sudah Siapkah Kita?

Pendekar pendidikan

Kita tahu, sebenarnya Kartini tak sendiri dalam hal memperjuangkan pendidikan pribumi. Kita mengenal Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, dan banyak lagi pendekar  wanita di masa lalu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya untuk kaum wanita. Mereka sudah berpikir maju, jauh melampaui cara berpikir perempuan pada zamannya.

Mereka berjuang melawan tradisi yang sudah mengakar. Menentang apa yang dianggap tabu, tentang hak wanita untuk pintar menulis, membaca dan berketerampilan lainnya, yang bukan hanya berkutat antara dapur, sumur, dan kasur. Bukan untuk dirinya sendiri saja, tetapi untuk seluruh kaum perempuan, saat itu hingga sekarang.

Kini, apa yang mereka perjuangkan sudah dinikmati oleh kaum wanita. Perempuan Indonesia bebas bersekolah ke mana saja mereka suka. Sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Bebas berkarya, menyuarakan pendapat, memiliki pekerjaan dan karir seperti halnya pria.

Namun harus diingat, hak memperoleh pendidikan sama dengan pria bukanlah berarti mengingkari kodrat sebagai seorang wanita. Bukan untuk menggantikan pria, tetapi wanita dan pria adalah setara tetapi untuk saling melengkapi bukan berkompetisi. (*)

Apa Tanggapan Anda ?