Siedoo, Rendra Panca Anugraha menjadi doktor termuda lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Jawa Timur. Dalam gelaran wisuda ke-119, 16 sampai 17 Maret 2019, Rendra yang dari Departemen Teknik Kimia ITS berusia 24 tahun 4 bulan.
Kelulusannya di usia yang anti-mainstream ini sama dengan Grandprix Thomryes Marth Kadja, peraih rekor MURI sebagai doktor termuda di Indonesia yang juga di usia 24 tahun di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2017. Sehingga, pemuda ini bisa dikatakan sebagai doktor termuda di Indonesia saat ini.
Cerita berawal dari usulan dosen pembimbingnya di masa studi sarjana (S1), untuk mengikuti sebuah program beasiswa bernama Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU). Program yang digulirkan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di tahun 2015 ini menantang para sarjana unggulan untuk menyambung studi mereka hingga ke tingkat doktoral dalam kurun empat tahun.
Siapa sangka, pemuda kelahiran Bondowoso, 25 November 1994 ini malah merampungkan tantangan tersebut hanya dalam kurun waktu 3,5 tahun. Selama kurun waktu itu pula, mahasiswa bimbingan Prof Dr Ir Gede Wibawa M Eng dan Prof Dr Ir Ali Altway MS ini berhasil melakukan publikasi penelitian di tiga jurnal ilmiah internasional bereputasi, serta dua seminar internasional.
Dalam disertasinya, Rendra terfokus pada pemanfaatan Dimethyl Carbonate (DMC) dan Diethyl Carbonate (DEC) sebagai zat aditif pada bahan bakar bensin. Alasannya, Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil (terutama bensin atau gasoline), padahal sumber daya tersebut sangat terbatas.
Karenanya, ia menawarkan gagasan untuk mengurangi ketergantungan ini dengan menambahkan DMC dan DEC yang dapat diproduksi dari sumber biomassa.
Cara Rendra Menikmati Masa Muda
Dalam film Spiderman, tokoh Paman Ben mengatakan kepada Peter Parker sebuah ungkapan legendaris yang berbunyi, “With great power, comes great responsibility.” Power dalam artikel ini dapat diartikan sebagai tingkat kecerdasan.
Seorang doktor adalah manusia yang dikaruniai intelektualitas tinggi. Dengan segala keterbatasan yang ada, mestinya mampu mencari peluang di mana bisa berkontribusi kepada masyarakat melalui kapasitas intelektualnya ini.
Banyak problem nyata di masyarakat yang perlu dicari solusinya, dan beberapa persoalan memiliki kompleksitas yang tinggi. Sehingga, memerlukan kapabilitas yang istimewa juga. Seorang doktor memiliki bekal dasar untuk menangani hal semacam ini, dan ini membuka peluang baginya untuk bisa berkontribusi menjalankan perannya.
“Cara saya menikmati masa muda adalah dengan menemukan solusi atas masalah yang ada di masyarakat dengan ilmu dan kemampuan yang saya miliki,” tutur doktor yang juga dipercaya sebagai supervisor researcher di Laboratorium Termodinamika ITS ini.
Menurut putra pasangan Suwardjito dan Miftachul Djannah ini, doktor adalah orang yang berdiri di ujung horison perkembangan ilmu pengetahuan di bidangnya. Dia berada di tip of the edge. Sehingga, tugas seorang doktor setelah menyelesaikan studi doktoralnya adalah melanjutkan pengembangan ilmu di bidang tersebut.
Rendra mengaku, selama menjalani program PMDSU sempat dihadapkan pada beberapa persoalan yang menghambat progres penelitiannya. Salah satunya adalah dalam hal penyediaan bahan eksperimen.
Kadang, Rendra sampai harus mencari sendiri bahan eksperimen yang dibutuhkan tersebut di luar negeri, sehingga perlu mengurus surat ekspor-impor barang.
“Sangat sulit untuk menemukan bahan baku penelitian saya di Indonesia,” kenang peraih IPK 3,95 ini.
Meskipun sulit, Rendra tetap berkomitmen untuk menjalani studi doktoralnya sebaik mungkin. Bungsu dari 5 bersaudara ini merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan amanah yang telah dipercayakan negara kepadanya melalui program PMDSU ini.
Semangatnya ini bahkan pernah mengantarkan Rendra untuk melakoni berbagai penelitian sekaligus menghimpun pengalaman di Hiroshima University, Jepang. (*)