JAKARTA – Sekitar 15 tahun kedepan, Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menargetkan, masyarakat tidak lagi banyak berkuliah di gedung atau ruang kampus. Tetapi, dimana saja dan kapan saja selama ada akses internet.
“Jangan kaget nanti 15, 20, 30 tahun ke depan, orang bilang, ‘Oh, ini ada kampus besar di masa itu.’ Ini akan jadi sejarah, karena semua sudah dengan online learning,” kata Nasir dilansir dari ristekdikti.go.id.
Digambarkannya, pada nantinya kampus tidak menjadi lalu lalang mahasiswa untuk kuliah, mendengarkan pemberian materi dari dosen, seperti saat ini.
“Nanti kampus bukan pusat kuliah lagi, tapi pusat inovasi, pusat praktik, pusat pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia,” ungkap mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini.
Melansir dari idntimes.com, kelebihan dari kulian online atau daring, kata Nasir, mahasiswa bisa kuliah walau universitas yang dipilih ada di luar kota, bahkan di luar pulau. Sehingga, mahasiswa hanya perlu mengikuti kuliah daring bersama dosennya. Nantinya, pendidikan jarak jauh (PJJ) akan diterapkan di seluruh Indonesia.
“Nanti pemantauan kuliah nanti, di situ dikatakan mahasiswa, misal mahasiswa Papua. Dia tidak usah datang ke perguruan tinggi yang dituju, misal Bandung, ia kuliah di Bandung, tapi dia tetap di Papua. Dia bisa melakukan perkuliahan di sana, dia akan dapat nilai juga,” kata Nasir.
Karena itu, pihaknya sedang menyiapkan sistem perkuliahan ini. Mulai dari masalah mutu hingga proses pembelajaran.
“Bukan hanya power point yang diangkat, tapi sistem pembelajaran yang interaktif berbasis pada online,” ujar dia.
Adapun kelebihan lainnya dari program pendidikan daring ini, kata Nasir, ada pada pembiayaanya. Dengan menggunakan program PJJ, maka akan menekam biaya kuliah menjadi lebih murah dari kuliah pada umumnya.
“Kalau kita dengan kuliah yang sekarang face to face membutuhkan tempat dan dosen. Tapi dengan berubah menjadi ke PJJ ini, cost-nya bisa ditekan mungkin sampai 50 persen. Yang katakan SPP-nya sekarang Rp 5 juta, ini bisa hanya Rp 2,5 juta, kalau Rp 2,5 juta mungkin bisa Rp 1,5 juta juga,” ungkap Nasir.
Dirjen Kelembagaan, Ipten dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Patdono Suwignjo, menyebut sistem online learning dapat menjadi jembatan yang akan membantu pendidikan tinggi masuk ke pelosok negeri yang tidak memiliki gedung perkuliahan.
“Tantangannya ada pada infrastruktur internet yang harus diperbaiki dengan sempurna. Ada baiknya dilakukan dengan pembuatan konsorsium oleh PTN dan PTS, sehingga lebih mudah dalam persiapan sistem dan infrastrukturnya,” ujarnya dilansir dari koran-jakarta.com.
Sementara dari segi perubahan kebutuhan kompetensi di lapangan pekerjaan, Patdono mengatakan saat ini lapangan kerja lebih fokus pada teknologi. Dengan demikian, perguruan tinggi pun harus mulai mengkritisi kurikulum agar lulusannya fit dengan lapangan kerja.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Badan Penyelenggaraan Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Thomas Suyatno, mengatakan, era disrupsi ini, norma-norma jadi tidak lagi cocok.
“Pengelolaan perguruan tinggi dengan metode lama sudah tidak lagi tepat dan tidak akan bisa berhasil jika dilaksanakan di era ini,” kata dia. (Siedoo)