JAKARTA – Masih adanya ketidakadilan bagi kaum perempuan di tingkat akar rumput, menimbulkan keprihatinan kaum hawa. Mereka seringkali menjadi korban ketidakadilan sosial di lingkungannya masing-masing. Menyingkap permasalahan itu Institut KAPAL Perempuan menginisiasi berdirinya ‘Sekolah Perempuan’ di berbagai pelosok Indonesia.
Pada zaman penjajahan dulu, R.A Kartini yang mendirikan ‘Sekolah Istri’, untuk mendidik kaum hawa di tengah ketidakadilan yang membelenggu mereka. Hasilnya membuahkan pemikiran bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
“Dengan spirit yang dibangun RA Kartini, Institut KAPAL Perempuan menginisisasi Sekolah Perempuan di pelosok tanah air,” papar Direktur Institut KAPAL Perempuan, Misiyah.
Hal tersebut disampaikannya dalam acara Seminar Nasional Sekolah Perempuan: Model Pendidikan Kader Pembaharu Pembangunan yang Berkeadilan Gender dan Inklusif, di Jakarta.
Selanjutnya Misiyah mengatakan, forum sekolah perempuan hadir dengan metodologi pendidikan kritis yang menyasar kaum perempuan di desa-desa di Indonesia. Sekolah ini sebuah modul pendidikan dengan silabus gender, pluralisme, kesehatan reproduksi dan seksualitas, pengorganisasian, dan juga advokasi.
Bangun Kesadaran Kritis dan Strategi
Sekolah Perempuan mengembangkan empat tahapan pendidikan, yaitu tahap pertama, membangun kesadaran kritis, tahap kedua membangun kemampuan analisis sosial, tahap ketiga membangun kemampuan dalam melakukan strategi dan advokasi, kemudian tahap keempat adalah tahap pelatihan.
Misiyah berharap setelah mengikuti metode pendidikan tersebut, akan ada perubahan pola pikir yang lebih kritis dan lebih peduli dalam menyikapi masalah yang ada di lingkungannya, serta mengetahui akan hak-haknya sebagai perempuan yang harus setara dengan laki-laki dalam hal apapun. Sehingga, diskriminasi, kekerasan, ketidakadilan terhadap kaum perempuan bisa berkurang.
Dijelaskan Misiyah, ada lima aspek yang diukur, pertama yaitu perubahan kesadaran. Kedua, perubahan budaya, cara hidup, yaitu apakah cara hidupnya setara atau tidak. Ketiga, perubahan komitmen dari orang yang tidak peduli kepada siapapun menjadi peduli kepada orang lain.
“Keempat, kesadaran membangun sejarah baru; dan kelima, kemampuan dalam berpartisipasi politik, baik pengambilan keputusan dalam keluarga maupun di ranah publik,” ujar Misiyah.
Dilansir voaindonesia.com, dalam kurun lima tahun terakhir, ‘Sekolah Perempuan’ sudah ada di 79 desa, di enam provinsi, dan 25 kabupaten di seluruh Indonesia. Lulusan dari ‘Sekolah Perempuan’menjadi berani bersuara.
Bahkan, tak jarang pendapat mereka didengar dan dipertimbangkan oleh pejabat pemerintah daerah setempat. Serta membuahkan kebijakan yang adil dan setara.
“Contoh paling nyata adalah bagaimana kaum perempuan yang dididik ini berani mengkampanyekan bahaya kawin anak di desa-desa di Nusa Tenggara Barat,” pungkas Misiyah. (Siedoo)