BANDUNG – Besarnya potensi sumberdaya hayati yang dimiliki masyarakat, menjadi peluang yang sangat besar bagi pengembangan energi alternatif pelet kayu sebagai bioenergi. Pengembangan bioenergi dari pelet kayu dapat dimulai dari merubah perilaku pengguna energi di masyarakat. Khususnya di pedesaan untuk menuju kepada terwujudnya desa mandiri energi.
“Konsep pengembangan desa mandiri energi dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek antara lain potensi desa, kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan,” kata Ketua tim Program Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PPM) Institut Teknologi Bandung (ITB) Jawa Barat Dr. Sutrisno.
Ia menyampaikan itu berkaitan dengan kegiatan Dosen Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Kehutanan, Sekolah Teknologi Hayati ITB meneliti pengembangan teknologi konversi biomassa menjadi bioenergi kepada masyarakat. Program Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PPM) tersebut dilakukan di kampus ITB Jatinangor dan diikuti 25 orang, perwakilan masyarakat dari delapan desa di sekitar hutan pendidikan Gunung Geulis ITB Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Kedelapan desa tersebut meliputi tiga desa di Kecamatan Jatinangor (Desa Jatiroke, Jatimukti dan Cisempur), empat desa di Kecamatan Cimanggung (Desa Mangunarga, Cikahuripan, Cinanjung dan Sawahdadap) dan satu desa di Kecamatan Tanjungsari (Desa Raharja). Topik pelatihan yang diangkat yaitu “Pemanfaatan Serbuk Gergajian Kayu Hutan Rakyat sebagai Bahan Baku Pembuatan Pelet Kayu untuk Energi Alternatif Masa Depan.”
Dalam pelaksanaan PPM tersebut, setiap desa diwakili oleh tiga orang peserta yang merupakan perwakilan dari karang taruna, petani, tokoh masyarakat, serta ditambah perwakilan dari forum komunikasi Gunung Geulis. Pelatihan dilakukan kepada masyarakat di sekitar hutan pendidikan Gunung Geulis ITB karena didasari oleh kajian, yang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat pada delapan desa tersebut, masih menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak sehari-hari.
Di sisi lain potensi biomassa, terutama limbah kayu dalam bentuk serbuk gergajian kayu, cabang dan ranting serta serasah jumlahnya sangat besar. Tujuan dari kegiatan PPM ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, khususnya dalam pemanfaatan serbuk gergajian kayu hutan rakyat menjadi pelet kayu sebagai energi alternatif masa depan.
“Serta peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar hutan pendidikan Gunung Geulis ITB yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap kelestarian hutan,” jelas Sutrisno.
Lebih lanjut Dr. Sutrisno menyatakan bahwa pelet kayu (wood pellet) merupakan energi biomassa yang berasal dari proses pemadatan kayu dan memiliki potensi yang baik sebagai substitusi bahan bakar fosil. Seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam. Bahan baku untuk pembuatan pelet kayu umumnya berasal dari limbah industri pengolahan kayu yang dapat berbentuk serbuk gergajian kayu (sawntimber dust), serpihan kayu (wood chips) atau serutan kayu (wood shavings).
“Sumber bahan baku tersebut cukup melimpah di Indonesia karena limbah dari industri pengolahan kayu jumlahnya cukup besar, sekitar 50,8% dari bahan baku,” urainya.
Pelet kayu juga dapat dibuat dari limbah pemanenan kayu seperti bagian batang, ranting dan kulit kayu. Selain itu, bahan baku pelet kayu juga bisa berasal dari limbah pertanian dan perkebunan seperti bonggol jagung, sabut kelapa, jerami, cangkang buah kopi dan lain-lain.
“Pelet kayu merupakan salah satu contoh penggunaan sumberdaya hayati sebagai bioenergi, lebih tepatnya sebagai bahan bakar. Energi yang dihasilkan dari pelet kayu dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga maupun industri rumah tangga. Mulai dari memasak sampai kebutuhan untuk pembangkit tenaga listrik,” kata Dr. Sutrisno.
Sementara itu, kegiatan PPM dibuka oleh Dekan SITH-ITB, Prof. Dr. I. Nyoman Pugeg Aryantha, di gedung Labtek VA kampus ITB Jatinangor. Dalam sambutannya, Prof. Nyoman Pugeg menyampaikan pentingnya kerjasama yang baik antara Dosen ITB dengan masyarakat di sekitar hutan pendidikan Gunung Geulis ITB, khususnya dalam mengelola hutan pendidikan Gunung Geulis sebagai laboratorium alam.
“Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, kebijakan pengelolaan hutan pendidikan dikemas dalam bentuk ide-ide kreatif dan inovatif melalui proses pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Serta kerjasama pengeloaan dengan pihak lain sejauh tidak mengubah fungsi utama sebagai kawasan hutan lindung,” tandasnya. (Siedoo)