YOGYAKARTA – Berdasarkan hasil pemetaan dan kajian Ombudsman Republik Indonesia (ORI), masih banyak daerah yang belum menerapkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara 100 persen. Padahal dalam PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, bahwa kebijakan pemerintah daerah harus sesuai dengan kementerian teknis.
“Hampir semua (daerah) itu belum mematuhi 100 persen Permendikbud Nomor 14,” kata Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang dilansir dari kemdikbud.go.id.
“Kepatuhan itu penting karena saat ini sudah ada PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan,” tambahnya saat evaluasi PPDB 2018 dan persiapan untuk PPDB 2019 di Yogyakarta.
Dengan adanya PP tersebut, diharapkan dapat diikuti, karena di dalamnya juga diatur konsekuensi apabila terjadi pelanggaran. Tidak seperti sebelumnya yang dilakukan pembiaran atas penyimpangan, PP ini terdapat sanksi, mulai dari tertulis hingga pencopotan.
“Karena itu permendikbud tentang PPDB ini perlu dipahami secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga, proses penerimaan peserta didik nanti bisa dilakukan secara optimal,” jelasnya.
Seperti diketahui, tahun lalu sistem zonasi telah mulai diimplementasikan dimana penerimaan akan diprioritaskan berdasarkan jarak tempat tinggal dengan sekolah. Dengan demikian, diharapkan peserta didik bisa mendapatkan sekolah yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Selanjutnya, tidak ada lagi sekolah favorit karena semua sekolah sama.
Melansir dari republika.co.id, ORI memberikan beberapa laporan dan kritik penerapan sistem zonasi sekolah dalam PPDB 2018. Mulai dari murid tak mendapatkan sekolah, pemerataan fasilitas pendididikan hingga penerapan sistem secara mendadak. Karena itu, ORI meminta Kemendikbud terus membenahi sistem zonasi.
Anggota Komisioner Ombudsman Ahmad Su’adi mengaku, pihaknya mendapat laporan sekitar 150 siswa lulusan sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Bandung, Jawa Barat, belum mendapatkan sekolah. Anak-anak ini, tidak dapat ditampung di SMA negeri, swasta bahkan agama.
Persoalan sistem zonasi, masih ditambah mental masyarakat yang menganggap sekolah-sekolah tertentu favorit. Menurutnya, hal yang paling sulit dalam penerapan sistem ini adalah bagaimana bisa mengubah mental masyarakat untuk bisa menerima sistem yang dijalankan pemerintah melalui Kemendikbud tersebut.
Karena itu, kata dia, Ombudsman meminta pemerintah membenahi sistem zonasi secara keseluruhan jika ingin sistem ini berhasil. Selain itu, persoalan kesadaran dan mentalitas masyarakat yang harus terus dibangun.
“Karena, itu yang selama ini menjadi titik kelemahannya,” ujarnya.
Ombudsman juga memberikan beberapa masukan, di antaranya aturan-aturan baru ini seharusnya bisa diterbitkan lebih awal. Sehingga, sistem ini tidak membuat banyak pihak kelabakan karena harus sesegara mungkin menerapkan peraturannya. Kemudian terkait persoalan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sebagai syarat sistem zonasi, pihaknya meminta persoalan ini juga harus dikoordinasikan dengan Kemendagri. (Siedoo)