BANDUNG – Hukum internasional modern saat ini berakar dari tradisi bangsa Eropa. Hal ini didasarkan adanya aspek historisitas dan orisinalitas hukum internasional yang cenderung bersifat Eurosentris.
“Salah satu kritik terhadap hukum internasional adalah sistem hukum ini sangat politis (too political) dalam arti sangat bergantung kepada kekuatan politik negara-negara (state’s political power), khususnya negara-negara adi daya,” kata Prof. H. Atip Latipulhayat, LL.M., PhD, saat dilantik dan dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad).
Pelantikan dan Pengukuhan dilakukan oleh Rektor Prof. Tri Hanggono Achmad dalam upacara yang digelar di Grha Sanusi Hardjadinata kampus Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Jawa Barat. Prof. Atip membacakan orasi ilmiah berjudul “Internasionalisasi Hukum Internasional: dari Hegemoni ke Harmoni”.
“Eurosentris hukum internasional membawa kita kepada keharusan untuk mengembalikan hukum internasional kepada kesejatiannya, hukum untuk semua bangsa,” jelas Prof. Atip.
Menurut dia, Indonesia, terutama pada awal kemerdekaan, memandang hukum internasional secara kritis, karena dinilai sebagai bagian integral dari kolonialisme. Pandangan ini menurut Prof. Atip tidak terlalu keliru karena hingga saat ini hukum internasional dianggap masih bernuansa imperialisme.
Untuk itu, negara berkembang, termasuk Indonesia, didorong untuk lebih sensitif terhadap kepentingan nasionalnya. Bagi Indonesia sangat penting untuk memformulasikan interaksi antara hukum internasional dan hukum nasional dalam bentuk relasi yang saling membutuhkan.
“Dalam kerangka ini Indonesia didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam membentuk norma baru hukum internasional untuk melindungi kepentingan nasionalnya,” ujar Prof. Atip.
Pada kesempatan itu, terdapat dua guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang dilantik dan dikukuhkan oleh Rektor. Satunya yaitu Prof. Susi Dwi Harijanti, LL.M., PhD sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara.
Orasi ilmiah yang dibacakan Prof. Susi berjudul “Lampau dan Datang: Hukum Tata Negara dalam Arus Global”. Dalam orasi ilmiah tersebut, Prof. Susi menekankan pembelajar hukum tata negara harus mempelajari ilmu kenegaraan lainnya.
Salah satu ilmu kenegaraan di luar ilmu hukum yang harus dipelajari adalah ilmu politik. Prof. Susi menjelaskan, berbagai peristiwa politik secara nyata telah menjadi sumber hukum dalam arti materil bagi hukum tata negara.
“Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila ilmu politik dijadikan sebagai salah satu materi pembelajaran pada bidang kajian hukum tata negara,” kata Prof. Susi.
Di sisi lain, untuk keutuhan pemahaman mengenai hubungan antara hukum tata negara dan ilmu politik, maka ahli ilmu politik juga didorong untuk mempelajari ilmu hukum tata negara. “Di negara-negara lain, beberapa aspek hukum tata negara, misalnya, konstitusi atau pemerintahan telah dikaji oleh ahli-ahli ilmu politik,” tandasnya. (Siedoo)