JAKARTA – Di masyarakat muncul berbagai persepsi dalam memahami Implementasi Kurikulum Merdeka tahun ajaran 2022/2023. Pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjelaskan tentang miskonsepsi tersebut.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (Kepala BSKAP), Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, mengatakan ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam menjelaskannya.
Pertama, Kurikulum Merdeka sebagai alat perbaikan di sekolah dan kelas. Kedua, bahwa ada penerapan Kurikulum Merdeka yang benar/salah secara absolut, benar/salah tidak absolut tetapi kontekstual.
“Kurikulum diterapkan sekolah A berbeda dengan sekolah B. Kriteria benar/salah penerapan Kurikulum Merdeka adalah apakah penerapan menstimulasi tumbuh kembang karakter & kompetensi anak didik,” katanya.
Hal tersebut dijelaskannya dalam Silahturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk “Meluruskan Miskonsepsi Implementasi Kurikulum Merdeka”, secara daring, belakangan ini.
“Yang bisa tahu terjadi atau tidak adalah bapak/ibu guru yang di kelas,” terangnya sebagaimana dilansir dari kemdikbud.go.id, Sabtu 23/7/2022).
Selanjutnya, hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah adanya miskonsepsi yang menyatakan harus menunggu pelatihan dari pusat sebelum menerapkan Kurikulum Merdeka.
“Jangan menunggu dari pusat, guru dapat mengambil inisiatif untuk mengembangkan kapasitas secara mandiri. Peran Kemendikbudristek adalah menyediakan sumber daya atau perangkat untuk digunakan sekolah secara mandiri sesuai konteksnya sendiri,” terang Anindito.
Keempat adalah miskonsepsi terkait proses belajar menerapkan Kurikulum Merdeka bisa instan, sekali belajar dan pelatihan langsung bisa dan tuntas. Penting untuk diperhatikan agar terus melakukan penerapan siklus belajar dan direfleksikan.
Kelima, adanya miskonsepsi bahwa Kurikulum Merdeka hanya bisa diterapkan di sekolah fasilitas lengkap.
“Justru Kurikulum Merdeka fleksibel sehingga bisa diterjemahkan dan diturunkan serta diterapkan di manapun, dioperasionalkan menjadi kurikulum yang dibutuhkan sekolah-sekolah yang ada di pelosok dengan fasilitas minim,” terang Anindito.
Dijelaskan, prinsip utamanya adalah berorientasi pada murid dengan memprioritaskan tumbuh kembang anak secara utuh, mementingkan pengembangan kompetensi dan karakter murid.
Kurikulum Merdeka memudahkan dan mendorong guru untuk berorientasi pada murid, misalnya berfokus pada materi esensial.
“Jadi materi tiap mata pelajaran lebih sedikit sehingga guru tidak perlu terburu-buru dalam mengajar. Guru bisa menggunakan metode yang lebih interaktif, lebih mendalam, dan lebih menyenangkan,” tambah Anindito.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara, Suparmin Setto, mengatakan kata kunci dari penerapan Kurikulum Merdeka adalah memusatkan pembelajaran pada siswa dan berdasarkan pada kebutuhan siswa, tidak bisa disamaratakan, dan harus berbasis pada asesmen diagnosis.
“Untuk implementasi Kurikulum Merdeka pada jenjang sekolah dasar ruhnya sudah dapat dengan berorientasi pada siswa. Siswa jangan berorientasi pada guru, ataupun kepentingan guru,” katanya.
Guru, lanjutnya, jangan sampai terbelenggu kepada tataran administrasi, tetapi orientasi materi esensial. Ada guru yang mengajar mengatakan bahwa materi sudah habis.
“Sebetulnya jangan berbicara materi sudah habis, tetapi bagaimana cara guru itu sendiri mengembangkan target untuk siswa berkembang secara holistik,” terang Suparmin.
Pada kesempatan yang berbeda Anindito mengatakan bahwa tidak ada pembatalan implementasi Kurikulum Merdeka.
Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 044/H/KR/2022 yang ditandatangani 12 Juli 2022 adalah untuk menetapkan lebih dari 140 ribu satuan pendidikan yang menerapkan Kurikulum Merdeka pada tahun ajaran 2022/2023.
“SK tersebut merevisi SK sebelumnya karena terdapat perubahan beberapa satuan pendidikan yang melakukan refleksi dan mengubah level implementasinya, misalnya dari level mandiri belajar ke mandiri berubah atau sebaliknya,” terang Anindito. (kemdikbud/siedoo)