Siedoo, Beberapa daerah terpencil tidak bisa dialiri oleh jaringan listrik lantaran sulit terjangkau. Sehingga, diperlukan sumber listrik yang bisa didapatkan sumber energi lokal pada daerah setempat, seperti energi matahari, energi angin, atau lainnya. Sumber energi tersebut juga merupakan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.
Meskipun begitu, pemanfaatan EBT ternyata masih dinilai kurang efisien karena ketersediaannya tidak bisa konstan secara terus-menerus dan penggunaan di masyarakat juga tidak menentu.
“Seperti ketika mendung, sumber energi matahari siang hari jadi terhambat,” kata guru besar (gubes) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur Prof Dr Ir Soedibyo MMT.
Dengan latar belakang tersebut, gubes dari Departemen Teknik Elektro ini merangkai kombinasi sumber EBT, yaitu matahari, angin, dan hidrogen supaya dapat menghasilkan listrik yang konstan dan efisiensi yang tinggi.
Soedibyo menyebutkan, beberapa komponen yang ada dalam rangkaian tersebut. Antara lain berupa panel surya sebagai penghasil listrik dari sinar matahari, turbin angin penghasil listrik bertenaga angin, electrolyzer yang dapat mengubah air menjadi hidrogen, fuel cell yang bisa menghasilkan listrik dari hidrogen, penyimpan hidrogen, dan pengubah arus listrik.
Untuk diketahui, daerah terpencil di Indonesia nyatanya masih belum 100 persen berhasil terjangkau oleh jaringan listrik. Oleh karena hal itu, Soedibyo berhasil mengombinasikan rangkaian Energi Baru Terbarukan untuk meningkatkan efisiensi listrik pada daerah terpencil. Prinsip kerja pada rangkaian ini adalah ketika listrik yang dihasilkan dari panel surya dan turbin angin lebih besar dari beban atau keperluan listrik masyarakat.
Maka kelebihan listrik akan digunakan oleh electrolyzer untuk menghasilkan hidrogen dari air. Sedangkan ketika listrik yang dihasilkan dari panel surya dan turbin angin lebih kecil dari beban atau keperluan listrik masyarakat, maka kekurangan listrik tersebut akan dipenuhi dari fuel cell dengan mengubah hidrogen menjadi listrik.
“Namun ketika listrik yang dihasilkan dari panel surya dan turbin angin setimbang dengan beban atau keperluan listrik masyarakat, maka tidak ada listrik yang mengalir pada electrolyzer dan fuel cell,” ungkap lelaki yang menginjak usia 66 tahun ini.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sejak 1998, rangkaian tersebut memiliki efisiensi lebih baik 50 – 60 persen. Saat ini, rangkaian tersebut masih berupa prototipe dan sudah dilakukan pengujian dalam skala laboratorium.
Dalam penerapan rangkaian ini pada suatu daerah, Soedibyo membeberkan jika diperlukan beberapa data seperti intensitas cahaya matahari, potensi angin, dan data calon pelanggan listrik. Selanjutnya akan diolah menggunakan perangkat lunak untuk menentukan jumlah panel surya, turbin angin, fuel cell, dan electrolyzer.
“Oleh karena itu, setiap daerah akan memiliki desain rangkaian yang berbeda-beda,” ungkapnya.
Soedibyo berharap jika pemanfaatan EBT ini bisa meningkatkan pemakaian energi listrik ramah lingkungan dan meningkatkan angka elektrifikasi Indonesia sampai 100 persen. Sehingga baik di perkotaan, pedesaan, bahkan sampai yang terpencil bisa mendapatkan listrik secara merata. (*)