SENAT. Ketua Senat Mahasiswa STAINU Temanggung, Ahmad Farichin. (foto: ist)
Siedoo.com - SENAT. Ketua Senat Mahasiswa STAINU Temanggung, Ahmad Farichin. (foto: ist)
Opini

Merdeka Belajar dan Organisasi Mahasiswa Penggerak

Siedoo, Program Organisasi Penggerak (POP) gagasan Mendikbud Nadiem Makarim menjadi terobosan untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Program ini menjadi solusi atas problematika pendidikan saat ini, baik dari ketertinggalan kompetensi, literasi, numerasi, maupun karakter. Akan tetapi, POP ini belum menyentuh pendidikan tinggi secara menyeluruh, khususnya pada organisasi mahasiswa. Maka, dalam konteks pendidikan tinggi perlu dihadirkan Organisasi Mahasiswa Penggerak (OMP).

Lahirnya POP muncul dari rahim Merdeka Belajar-Kampus Penggerak. Peluncuran POP bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah lewat pelatihan-pelatihan yang sudah terbukti untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini akan berbeda jika POP dikontekstualisasi di perguruan tinggi.

Dari seluruh kampus yang ada di Indonesia baik sekolah tinggi, institut dan univesitas, semuanya berkesempatan menjadi pelopor Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Namun apakah semua organisasi kampus sudah sesuai ruh POP yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim? Apakah organisasi penggerak hanya sebatas organisasi yang mendaftarkan menjadi partner Kemdikbud? Secara substansial tentu tidak.

Problematika Organisasi Mahasiswa

Secara umum Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dibagi menjadi empat, yaitu student government (pemerintahan mahasiswa), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), organisasi ekstra, dan organisasi daerah.

Dalam Undang-Undang tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi pasal 77 ayat 2 dijelaskan bahwa fungsi organisasi kemahasiswaan untuk mewadahi mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat dan potensi mahasiswa, mengembangkan kreativitas, daya kritis, keberanian, kepemimpinan dan kebangsaan, memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa serta mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan pengabdian masyarakat.

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Ormawa sering kali tidak menjalankan sesuai dengan tugasnya, justru sering terjadi konflik yang hanya berputar pada kegiatan yang tak mendukung peningkatan kualitas mahasiswa. Seperti contoh perebutan anggota, demonstrasi, mogok makan, dan lainnya. Hal ini melenceng dari amanah Ormawa sebagai “civitas akedemika” dan justru berubah menjadi “civitas politika”.

Baca Juga :  Bisa Dilakukan Siapapun, Inilah 6 Cara Bijak Tangkas Berinternet

Maka Ormawa harus benar-benar menjadi civitas akademika sesuai arah POP. Dalam Merdeka Belajar-Kampus Merdeka diperbolehkan bagi mahasiswa untuk mengambil tiga semester di luar prodinya, guna meningkatkan daya saing mahasiswa ketika sudah menjadi lulusan yang akan menghadapi dunia luar yang lebih keras.

Namun, ada yang lebih memerdekakan belajar bagi mahasiswa yaitu melalui Ormawa. Pasalnya, Ormawa memiliki ruang lebih dinamis dibandingkan dengan ruang-ruang perkuliahan yang sempit, kaku, menjenuhkan, dan miskin kreativitas. Mahasiswa dapat bergerak lebih luas dan bernalar kritis ketika berada di luar bangku kuliah lewat Ormawa.

Ormawa berpotensi mendorong berlangsungnya POP. Sebab mahasiswa akan menerusakan estafet kepemimpinan bangsa. Akan tetapi, sasaran POP secara konseptual hanya mencakup sekolah dasar dan sekolah menegah pertama tanpa melibatkan perguruan tinggi. Inilah problem program Mas Menteri yang harusnya menyasar pada Ormawa sebagai bagian dari elemen pendidikan. Untuk itu perlu konsep menyukseskan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka melalui Ormawa.

Organisasi Mahasiswa Penggerak

Untuk mewujudkan POP di perguruan tinggi, perlu dibentuk OMP. Sebab melalui Ormawa, program POP dapat terlaksana dengan baik di perguruan tinggi. Hal tersebut seharusnya dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pertama, Dirjen Dikti Kemdikbud memberikan kebijakan pembentukan OMP di kampus.

Berdasarkan data statistik pendidikan tinggi sampai 2018, PDDIKTI (2018:3) mencatat ada 11.256 kampus di Indonesia yang terdiri atas universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, akademi komunitas, politeknik, baik negeri maupun swasta. Kita dapat mengakumulasi, jika setiap kampus dibentuk satu OMP dengan lima anggota, maka dari 11.256 itu ada 56.280 penggerak.

Data ini baru OMP yang lahir dari organisasi intra kampus, belum lagi OMP yang bisa dibentuk dari organisasi ekstra seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan lainnya.

Baca Juga :  Kejenuhan Pembelajaran Daring Mendekati Titik Klimaks

Ormawa tersebut jika diakomodir dan digerakkan lewat kebijakan Dirjen Dikti Kemdikbud, maka otomatis program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka akan mudah tercapai di pendidikan tinggi secara maksimal. Sebab, selama ini perhatian pemerintah terhadap Ormawa masih kurang maksimal, padahal mereka jika dikader dengan baik akan menjadi partner Kemdikbud dalam memajukan pendidikan.

Kedua, kebijakan kampus yang mengharuskan OMP menjadi katalisator bagi mahasiswa untuk melakukan pembelajaran di luar kampus. Alasannya, mahasiswa dapat belajar kehidupan riil di masyarakat lebih kontekstual, berbasis pengalaman, dan menyiapkan kompetensi sosial kepada mahasiswa agar mereka siap untuk hidup bersama masyarakat.

Hal ini menjawab konsep Merdeka Belajar-Kampus Merdeka yang mebolehkan mahasiwa untuk mengambil SKS di prodi lain. Jika mahasiswa belajar langsung di masyarakat, maka mereka tidak perlu lagi belajar di prodi lain ketika hanya belajar teori melulu.

Ketiga, integrasi Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui OMP. Selama ini, Ormawa hanya fokus pada kegiatan demonstrasi, unjuk rasa yang kadang kontra produktif dengan peran dan fungsi Ormawa sebagai civitas akademika.

Demonstrasi sah-sah saja jika dilakukan sesuai porsinya. Harusnya demonstrasi itu dilimpahkan ke organisasi ekstra bukan intra. Pasalnya demonstrasi itu hanya bagian dari wahana menyampaikan kritik, aspirasi atau kontrol sosial. Masih ada cara yang lebih cerdas daripada demonstrasi seperti audiensi/dialog yang justru dapat mencerminkan mereka sebagai kaum intelektual.

Keempat, pertukaran OMP dengan kampus luar negeri, program ini dimaksudkan membekali mahasiswa di bidang softskills, lifeskills dan hardskills baik di bidang pendidikan, bahasa, olahraga, seni, ekonomi, teknologi dan lainnya. Tujuannya agar mahasiswa ketika lulus memiliki keunggulan lain yang dibutuhkan dalam dunia kerja/industri.

Kelima, adanya program OMP yang menyasar kepada pelatihan, seminar, atau workshop kepada masyarakat yang isinya berupa penyadaran akan pentingnya merdeka dalam belajar. Arah dari program ini nanti mengajak masyarakat melakukan inovasi, kreasi, berpikir merdeka dalam menerapkan pendidikan di dalam keluarga. Hal ini sesuai konsep tri sentra pendidikan gagasan Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.

Baca Juga :  Ilham Habibie : Tren Belajar ke Depan adalah Teknologi

Semua orang besar tak ada yang tak pernah ikut Ormawa. Munculnya pendidikan besar seperti Taman Siswa, pendidikan di bawah NU, Muhammadiyah, PGRI, semuanya berangkat dari organisasi. Ormawa dalam konteksi ini tinggal disinkronkan dengan konsep Merdeka Belajar-Kampus Merdeka yang menjadi terobosan dalam meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. (*)

Ahmad Farichin
Ketua Senat Mahasiswa STAINU Temanggung,
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Temanggung

Apa Tanggapan Anda ?