Siedoo, Salah satu faktor terjadinya banjir di Jakarta beberapa waktu, selain curah hujan yang tinggi adalah karena penurunan tanah. Setiap tahunnya, penurunan tanah bisa mencapai 1-10 sentimeter di Ibu Kota Indonesia tersebut.
Jika suatu daerah terjadi penurunan tanah maka akan terjadi cekungan. Cekungan itu yang akan menyebabkan banjir. Ada beberapa faktor penyebab penurunan tanah. Di antaranya, karena tanahnya secara alamiah turun, akibat eksploitasi air tanah, bebanan infrastruktur dan urugan, faktor tektonik, dan adanya eksploitasi minyak dan gas bumi dan tambang di bawah permukaan. Yang paling dominan kalau kasusnya di Jakarta adalah eksploitasi air tanah, dan beban infrastruktur dan urugan.
Sudah banyak teknologi yang dihasilkan untuk mengurangi penurunan tanah. Misalnya dengan melakukan substitusi air tanah dengan air permukaan, kemudian teknologi water recycling, mengolah air limbah, dan pembuatan air laut menjadi air tanah. Di Indonesia teknologi tersebut belum diprogramkan secara masif, hanya pada skala kecil saja.
Penurunan tanah bisa diukur melalui satelit ataupun GPS bahkan sampai tingkat akurasi milimeter. Namun demikian, penurunan tersebut tidak akan terasa karena terjadi perlahan. Mengenai hal tersebut, pemerintah seharusnya sudah memiliki data sehingga dapat menerapkan kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi kejadian banjir karena penurunan tanah tersebut.
Mencari solusi dari banjir yang terjadi di Jakarta, harus dikaji dari berbagai aspek. Pertama ialah sumber air datangnya dari mana. Apakah dari hujan deras yang terjadi di wilayah Jakarta, atau kiriman dari daerah hulu. Kasus di Jakarta kemarin, karena curah hujan yang ekstrem, belum lagi di daerah Bogor hujannya besar.
Sementara itu di sisi lain, daya tampung air sungai, waduk, atau kolam retensi tidak cukup untuk menampung debit air saat hujan lebat tiba. Karenanya, normalisasi maupun naturalisasi sungai menjadi salah satu upaya Pemprov DKI Jakarta untuk menambah daya tampung air.
Kemudian daya serap dan aliran air di tanah juga berpengaruh. Problem lainnya adalah relokasi warga yang bertahan hidup di bantaran sungai. Itu juga sangat sulit karena harus ganti rugi lahan dan lain sebagainya. (*)
Dr. Heri Andreas ST., MT.,
Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB
(Disarikan dari laman itb.ac.id)