MAGELANG – Sekolah Menengah Kejuruan (SMKS) YP 17 Kota Magelang, Jawa Tengah mengikuti FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional), suatu program yang memberikan ruang bagi kreativitas dan potensi siswa di bidang seni dan sastra.
“FLS2N itu kan bagi sekolah-sekolah merupakan ajang bergengsi. Jadi, siapapun yang sampai ke Nasional itu memang yang terbaik,” kata Tri Setyo Nugroho, S.E, Waka Kesiswaan SMK YP 17 Kota Magelang.
Ketika FLS2N mulai dimunculkan lomba cabang film, pada 2016 karya SMK YP 17 yang menyeleksi langsung dari tingkat provinsi. “Dan alhamdulillah dapat juara 1 tingkat Provinsi Jawa Tengah, langsung naik ke Nasional dan mendapatkan juara 2 dengan judul film Mengeja Mimpi,” kata dia.
Tahun berikutnya 2017 karya dengan judul film “Warna Mahardika” ditingkat provinsi mendapat juara 3. Sementara pada 2018 mendapat juara 2 tingkat provinsi, dengan judul film “Doktrin”.
Adapun pada 2019 ini, para siswa SMK YP 17 tengah berproses dan diawal Juli sudah mulai eksekusi pengambilan gambar di lapangan. Sistem dari lomba semacam itu, anak-anak memproduksi film secara serius tentang manajemen produksi dan hal yang lain. Kemudian para siswa yang meng-create-nya sendiri.
“Saya lebih melihat bahwa, anak-anak muda jaman sekarang relatif lebih cerdas. Lebih kreatif, kita sebagai guru itu memotivasi dan mendasari mereka. Awalnya kita perkenalkan dan mendasari mereka bagaimana teknik membuat film, menciptakan tim produksi dalam sebuah film, job description-nya dan lain-lain,” tutur Guru Seni Budaya yang kerap disapa Gepeng tersebut.
Langkah berikutnya yaitu memberikan stimulan kepada siswa untuk kemudian melakukan produksi kecil. Apapun produksinya, seperti mulai dari eksekusi pengambilan gambar dan editing. Pengalaman menjadi faktor yang nanti bisa mendewasakan para siswa untuk membuat film lebih baik pada produksi selanjutnya.
Para siswa juga mempunyai tanggung jawab meningkatkan kualitasnya. Salah satunya dengan memperbanyak referensi film yang ada.
“Sarana dan prasarana untuk membuat film itu kan relatif mahal harganya, maka apapun alat yang mereka gunakan bisa untuk produksi. Bahkan hanya dengan menggunakan smartphone, pokoknya asal bisa untuk rekam video, bisa untuk menata gambar dan editing, itu syarat dasar untuk membuat film,” terangnya.
Selain itu, dalam membuat naskah, guru melemparkan sebuah ide dasar kepada siswa. Kemudian siswa akan mengembangkan dan menyusun treatment sendiri. Siswa juga memberikan feedback kepada guru tentang susunan yang sudah mereka kembangkan.
“Dalam satu tim itu pasti ada saling benturan ide. Menurut saya, itu wajar karena hal itulah yang dapat mendewasakan mereka. Barulah ketika treatment sudah disepakati, kemudian dikembangkan menjadi skenario secara lengkap,” ujarnya.
Guru mempunyai tugas melalui pendidikan yaitu menciptakan perasaan dan jiwa intuitif siswa untuk mengarahan kepada film-film yang mengedukasi dan membangun cita-cita siswa secara positif.
“Siswa yang tergabung di komunitas cinematography sekolah, memang diawal saya tidak akan pernah mengarahkan genre mereka. Tidak akan mengarahkan selera mereka, tapi lambat laun mereka akan merasakan mana yang baik. Mana yang kualitas buruk, apa adanya, kejar tayang dan seterusnya. Karena melalui proses tersebut mereka akan memahami itu,” terangnya.
Saat pendewasaan siswa dalam proses produksi itu, guru lebih membiarkan siswa untuk bereksplorasi untuk membuat film apapun. Ketika siswa sudah bisa merasakan dan mengerti teknik, maka baru lah guru memasukkan doktrin secara soft kepada siswa, mulai dari hal yang sederhana dahulu.
Bedah film juga dilakukan sebagai salah satu upaya pemahaman yang lebih mendalam. Seperti mengkaji film yang banyak diminati oleh masyarakat dan menjadi kualitas baik di kalangan orang-orang film.
“PR kita adalah bagaimana kemudian menciptakan iklim selera masyarakat. Sehingga, kita memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat. Tidak malah mengikuti dari selera masyarakat yang sekarang ini sudah didominasi oleh semacam kebarat-baratan,” tandasnya.
Sekolah diharapkan memberikan stimulan dan mendidik siswa di bidang perfilman dengan maksimal. Jika ada sekolah yang tidak mampu untuk mengajarkan, maka bisa melalui workshop atau mendatangkan tenaga ahli ke sekolah.
“Untuk SMK YP 17, sudah cukup lama kita sering berinteraksi dan memang bisa dikatakan baru satu-satunya sekolah di Kota Magelang yang eksis, bergerak dalam bidang teater dan dikembangkan ke film. Meskipun sekolah lain juga ada yang mencoba seperti membuat film dokumenter, tapi masih belum se-eksis yang dilakukan SMK YP 17, ” ungkap Sugeng Priyadi, S.E Kabid Kebudayaan Disdikbud Kota Magelang, Jawa Tengah.
Disdikbud Kota Magelang juga ikut berkontribusi dalam dunia film untuk pendidikan. Terdapat film yang sudah dibuat oleh Didsikbud Kota Magelang, antara lain berjudul “Senja Merah” dan “Pesanggrahan Terakhir Sang Jenderal”.
Saat ini film berjudul “Titi Mongso” yang menceritakan penangkapan Pangeran Diponegoro masih dalam proses pengerjaan. Harapannya akan di-launching pada Agustus 2019 nanti.
“Setiap tontonan harus mempunyai tuntunan, tuntunan itu diwujudkan dengan tontonan. Apa yang ditampilkan harus memberikan nuansa pendidikan,” tandasnya. (Siedoo)