Siedoo, Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi adalah salah satu kejadian penting bagi sejarah Indonesia. Pemberontakan ‘Kapal Tujuh Provinsi’ merupakan pemberontakann anti kolonial pertama yang dilakukan oleh prajurit laut Indonesia. Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi diperingati setiap tanggal 5 Februari.
Tak banyak orang yang tahu bahwa pada tanggal 5 Februari 1933 terjadi peristiwa yang besar dan tercatat dalam sejarah Indonesia. Berikut penjelasan tentang Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi ditulis siedoo.com dari berbagai sumber.
Sebuah pemberontakan di atas kapal laut
Pemberontakan menentang kolonial Belanda terjadi di atas kapal angkatan laut HNLMS (Her Netherlands Majesty’s Ship) yang merupakan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien) dipicu oleh kasus pemotongan gaji secara tak adil oleh Hindia Belanda terhadap para pekerja pribumi.
Para pelaut Indonesia kemudian melakukan aksi mogok pada 27 Januari 1933 menolak penurunan gaji yang diputuskan oleh Gubernur Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis De Jonge. Kabar ini terdengar hingga ke kapal Tujuh yang sedang berlabuh di Sabang, Aceh, melalui pemberitaan radio.
Tanggal 30 Januari 1933, pemogokan kerja kembali terjadi di Surabaya. Para pemimpin pelaut Kapal Tujuh Provinsi (TP) di Aceh melakukan rapat. Mereka mengancam para ABK untuk tidak meniru kejadian tersebut dengan nada ancaman.
Namun, hal tersebut justru membuat dua orang ABK yang berdarah Indonesia memimpin gerakan untuk memberontak di atas Kapal TP. Mereka hendak membawa kapal ini ke Surabaya. (liputan6.com)
Tanggal 4 Februari 1933 terjadilah puncak pemberontakan di atas Kapal TP pukul 22.00. Para awak badan kapal berhasil membawa kapal perangtersebut menuju Surabaya.
Pemberontakan terdengar hingga ke Belanda
Pemberontakan yang berada di lepas pantai Sumatra ini juga melibatkan bom-bom dari udara menggunakan pesawat milik Belanda. Kejadian Kapal TP tersiar luas, sehingga pers asing ramai mengabarkan kejadian ini. Hingga di Belanda pun, kabar pemberontakan menjadi perbincangan. Perhimpunan Indonesia di Belanda mengeluarkan manifesto yang mendukung pemberontakan tersebut.
Apalagi, pada 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia (Melayu). Memberitahukan bahwa Kapal TP sudah diambil-alih dan sedang bergerak ke Surabaya.
Kebijakan penurunan gaji hingga 17% membuat para pegawai Eropa menentang keputusan tersebut. Akibatnya Gubernur Jenderal De Jonge mendapat serangan atas kebijakannya tersebut dari berbagai pihak. Peristiwa pemberontakan Kapal TP tercatat sebagai pemberontakan anti-kolonial pertama di kalangan para pelaut Indonesia.
Mendengar berita pemberontakan ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda dibuat kalang-kabut. Gubernur Jenderal De Jonge memerintahkan kapal Hr.Ms. Aldebaren untuk mengejar. Begitu kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang, yang bertugas di persenjataan, memberikan sinyal akan menembak jika kapal tersebut berani mendekat.
Kapal Aldebaren pun mundur dan berhenti mengejar. Namun, Belanda tidak berhenti. Mereka kembali mengirim kapal penyebar ranjau, Hr.Ms. Goudenleeuw, untuk melakukan pengejaran.
Tetapi kapal ini tidak berani untuk terlalu mendekat. Penyebabnya, kedua kapal pengejar ini memiliki meriam lebih kecil dan kalah persenjataan dibanding kapal De Zeven Provincien.
Kapal TP terus berlayar. Tanggal 5 Februari 1933 kapal sudah berada di pulau Breueh, lalu 6 Februari 1933 berada di pulau Simeulue. Kemudian singgah di Sinabang pada 7 Februari 1933, dan akhirnya pada tanggal 10 Februari 1933 kapal De Zeven Provincien sudah sampai di Selat Sunda.
Begitu memasuki Selat Sunda, kapal perang Hr.Ms. Java, dikawal dua kapal torpedo, Hr.Ms. Piet Hien dan Hr.Ms. Evetsen, langsung membayangi gerakan kapal tersebut. Selain itu, untuk benar-benar melumpuhkan pemberontak, dikerahkan juga sebuah pesawat pembom Dornier.
Komandan kapal Hr.Ms. Java, Van Dulm, mengirimkan telegram ultimatum kepada kapal De Zeven Provincien untuk segera menyerah. Tetapi Martin Paradja dan kawan-kawan menolak untuk menyerah.
“Kami tidak mau diganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya,” demikian reaksi mereka terhadap ultimatum Van Dulm.
Sesaat kemudian, pesawat Dornier mulai berputar-putar di atas kapal De Zeven Provincien, lalu mengeluarkan ancaman. Tetapi, Martin Paraja dan kawan-kawan kembali menyatakan menolak untuk menyerah.
Menteri Pertahanan Kerajaan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers, memberikan izin untuk melakukan penyerangan dengan pesawat militer. Kemudian pada hari Jumat, 10 Februari 1933, tepat jam 09.18 pagi, bom pertama berukuran 50 kg mulai dijatuhkan, tetapi belum mengenai sasaran.
Bom kedua dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal. Pemberontak memberikan perlawanan. Beberapa orang mengalami luka-luka.
“J. Pelupessy mendapat luka, sedangkan Sugiono kehilangan satu biji matanya,” tulis Maud Boshart dalam memoarnya untuk mengenang kejadian tersebut.
Kapal tersebut ternyata tidak dilengkapi dengan meriam penangkis serangan udara. Martin Paradja tewas pada saat pengeboman. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera.
Total 545 orang awak pribumi dan 81 awak Belanda ditahan. Para pemberontak pribumi yang masih hidup dibawa dengan kapal Hr.Ms. Java dan pemberontak berkebangsaan Belanda dibawa dengan kapal Hr.Ms. Orion menuju pulau Onrust. (wikipedia.org)
Sebanyak 20 orang awak pribumi dan 3 awak Belanda juga dinyatakan tewas akibat serangan itu. Di antara yang gugur adalah Sagino, Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, dan Simon.
Kawilarang, karena dianggap yang memimpin pemberontakan selepas kematian Paradja, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Begitu juga dengan Maud Boshart, yang dikenai hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan yang lainnya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun.
Para pemberontak kapal De Zeven Provincien akhirnya ditahan di pulau Onrust, di kepulauan Seribu, lepas pantai Batavia. Sebagian besar pemberontak meninggal dan dimakamkan di pulau tersebut. (*)