Siedoo.com -
Nasional

Mendikbud : Pembentukan Karakter Percaya Diri di Indonesia Masih Kurang

JAKARTA – Salah satu problematika anak di Indonesia adalah kurangnya rasa percaya diri. Padahal rasa tersebut berpengaruh terhadap perkembangannya. Hal ini menjadi sorotan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.

Dinyatakan, pembentukan karakter anak untuk kepercayaan diri dimulai dari pendidikan keluarga. Keluarga menjadi pondasi dasar pendidikan anak.

“Kita punya problem sebetulnya untuk di Indonesia ini, karena pembentukan karakter percaya dirinya kurang,” katanya dilansir kemdikbud.go.id.

“Jadi banyak tradisi yang kita warisi itu membuat kita menjadi kurang percaya diri,” tambahnya.

Menurut Muhadjir, banyak tradisi budaya dalam keluarga yang justru berperan menumbuhkan rasa tidak percaya diri dalam diri sang anak. Mendikbud mengaku, hal tersebut pernah dialaminya saat kecil.

“Misalnya ada tamu saya ikut nimbrung gitu, ketika tamunya pulang saya dicubit oleh ibu saya karena tidak sopan. Kemudian makan juga gitu, kalau diajak pergi makanan saya habis, itu enggak boleh, kata ibu saya itu tidak menunjukkan bentuk ke-perwiraan. Jadi, harus disisakan sedikit. Hal-hal seperti ini sangat terkontrol yang menurut saya kadang-kadang membuat kita jadi kurang percaya diri,” bebernya.

Karena itu, Mendikbud selalu menekankan ada 5C yang harus dibangun untuk membentuk karakter anak bangsa. Yakni, Critical Thinking, Creativity and Innovation, Communication Skill, Collaboration dan Confidence. Confidence ini tidak kalah penting dari 4C yang ada,” ungkapnya.

Confidence inilah yang kemudian menumbuhkan yang namanya self efficacy atau afikasi. Self efficacy akan mendorong orang untuk bisa bekerja keras, jadi orang mampu, belum merasa dirinya mampu.

“Dan rasa mampu ini penting, itu namanya self efficacy,” cetusnya.

Menurutnya, banyak orang yang mampu tapi tidak percaya diri, bahwa ia mampu. Lebih baik percaya diri mampu, walaupun sebenernya tidak mampu, daripada sebetulnya mampu, tapi tidak percaya kalau dirinya mampu.

Mendikbud menuturkan, menurut beberapa riset, self efficacy pada siswa kurang. Jadi sebetulnya mereka mampu, tapi tidak merasa bisa. Karena tidak merasa bisa, kemudian tersugesti tidak ada keberanian untuk melakukan.

Baca Juga :  Sistem PJJ Membuat Siswa Kehilangan Minat Belajar? Ini Tanggapan Mendikbud

“Jadi antara kemampuan dan perasaan mampu itu harus sinkron,” jelasnya.

Gejala Anak Tidak Percaya Diri

Melansir dari fimadani.com, ketidakpercayaan diri ini jika dibiarkan tentunya akan menghambat perkembangan jiwa sang anak. Apalagi, anak akan menghadapi kehidupan mendatang yang membutuhkan kekuatan jiwa serta keterampilan pengembangan dirinya.

Ada beberapa indikasi anak ‘terserang’ virus ketidakpercayaan diri. Gejala itu adalah sebagai berikut:

1. Anak sulit menyampaikan sesuatu. Kala berbicara ia gagap dan gagu; serta merasa kesulitan.

2. Anak pemalu, suka menutup diri dan tidak memiliki keberanian. Tidak berani tampil ke depan, tidak berani mengungkapkan gagasan, takut jika bertemu dengan orang lain, tidak berani mengatakan apa yang dirasakan, dan sebagainya.

3. Anak tidak mampu berfikir secara mandiri. Tatkala ia mendapati masalah, atau kesulitan melakukan sesuatu; ia langsung meminta bantuan kepada orang lain, tidak berusaha memecahkan terlebih dahulu. Hal ini karena ia sudah punya anggapan bahwa dirinya tidak akan bisa memecahkan masalah itu.

4. Anak senantiasa dihantui rasa was-was ada bahaya, kejahatan yang membuatnya bertambah takut dan khawatir.

Penyebab Anak Tidak Percaya Diri

  1. Kesalahan Cara Mendidik

Hal ini perlu diketahui oleh semua orang tua. Mendidik anak itu bukan sesuatu yang bisa trial eror. Salah mendidik anak bisa berarti telah merusak satu generasi ke depan. Maka, jangan sampai hal-hal berikut dilakukan; atau jika sudah terjadi, harus segera dihentikan.

Sungguh, ini demi masa depan anak. Kesalahan apa yang dimaksud, sehingga bisa membuat seorang anak tidak percaya diri.

Anak dididik dengan ancaman dan celaan.

Memarahi anak, Mengapa Anakku Tidak Percaya Diri? Setiap anak melakukan sesuatu, pasti ada yang mengancamnya, “Eit! Hentikan! Bisa kotor semua ini! Bisa rusak semua! Bisa berantakan semua!”. Eit, jangan naik tangga, jatuh nanti kau nak! Eit, jangan main air, nanti basah semua! Eit jangan mainan pisau, nanti kena tangan bisa berdarah!

Pun dengan celaan, Duuh, ini kerjaan ndak beres-beres! Lama sekali menyapunya! Ini bantuin nyuci piring kok ngga bersih! Tuh kan lihat, dindingnya kotor semua kena spidolmu! Anak selalu dicela tatkala mengalami kegagalan. Anak selalu dicela sebagus apapun hasil pekerjaannya.

Baca Juga :  Sambut Generasi Emas, Dukung Digitalisasi Sekolah

Anak dididik dengan penuh kecurigaan.

Ketika rumah berantakan, langsung dicurigai sebagai pelaku ‘perusak’ rumah. Ketika ada makanan tidak dihabiskan, langsung dicurigai sebagai pelaku kemubadziran. Ketika pulang agak terlambat, langsung dicurigai sebagai pelaku anak tidak taat.

Anak yang demikian, lama-lama akan enggan menyampaikan alasan yang sebenarnya terjadi, enggan menyampaikan kejadian yang sebenarnya. Belum dia peroleh kesempatan, sudah terlebih dahulu dicurigai oleh orang tuanya.

Anak dididik dengan kekerasan dan kasar.

Pukulan memang diperbolehkan, tapi pukulan itu hanya boleh diperuntukkan sesuatu yang sangat penting, sepenting shalat. Itu pun dengan pukulan yang tidak membekas (hanya pukulan yang menunjukkan sikap sebagai orang tua).

Rasulullah tidak pernah sedikitpun berlaku kasar kepada anak, apalagi memukulnya. Anak tidak suka diperlakukan demikian.

Anak yang sering dipukul, diperlakukan kasar dan keras, justru menjadi pribadi yang menuntup dirinya. Dia akan senantiasa ketakutan dan muncul padanya kekhawatiran setiap kali akan melakukan sesuatu. Dia takut tiba-tiba orang tuanya datang lalu membentaknya, bahkan memukulnya.

Anak dididik untuk merasa tidak berharga.

Dalam satu hari kehidupan sang anak, semestinya paling tidak ada satu kesempatan, ia mendapat apresiasi atau pujian dari orang lain, terutama orang tuanya. Pujian itu akan membuatnya merasa menjadi orang berguna, dan orang yang hebat; mampu melakukan sesuatu.

Dengan demikian, jiwa positif seseorang pun akan meluas. Jika sebaliknya, tentunya ia akan semakin merasa menjadi anak yang tidak ada gunanya, dan tidak bisa apa-apa.

Anak dididik untuk persaingan tidak sehat dengan kawan.

Betapa banyak menyaksikan orang tua yang sering sekali membandingkan kondisi anaknya dengan kondisi anak tetangga. Mereka membandingkan masalah perkembangan fisik lah, emosional lah, nilai akademis lah, prestasi lah, atau yang lainnya.

Anak yang senantiasa dibandingkan ini, jika ia menjadi anak yang lebih rendah atau buruk dari kawannya, tentu akan menganggap dirinya tidak punya apa-apa, tidak bisa berpikir apa-apa.

Baca Juga :  Unpad Segera Pilih Rektor, Berikut Delapan Calonnya

Maka akan mudah baginya menyerah atas sebuah masalah. Karena merasa Ah, temanku itu yang bisa! Aku mah, kayak gini aja ga bisa! Mungkin maksud dari orang tua membandingkan anaknya adalah sebagai motivasi.

Namun, sungguh kebanyakan hanya akan memberikan pengaruh sebaliknya. Bisa jadi anak memang kurang dalam mata pelajaran tertentu, tapi unggul di mata pelajaran yang lain. Jangan menuntuk anak menguasai semua bidang.

Anak dididik untuk minat yang tidak sesuai keinginan.

Betapa banyak orang tua yang memaksakan keinginan/cita-citanya diwujudkan oleh sang anak. Padahal, cita-cita tersebut belum tentu disukai oleh anak.

Anak dididik untuk terbatasi setiap perilaku dan cara berpikirnya.

Anak itu daya pikirnya masih sangat melebar, imajinatif. Anak tidaklah seperti para orang tua yang sering terjebak dalam belenggu keterbatasan.

Biarkan anak berkembang selama masih dalam kerangka yang benar. Apalagi terkait cita-cita anak jangan batasi kemungkinannya. Termasuk di dalamnya adalah meremehkan kemampuan anak, Ah, masa bisa si kakak?

  1. Pengaruh Lingkungan

Lingkungan yang berpengaruh besar utamanya adalah keluarga. Jika orang tuanya sering bertengkar, maka anak pun akan senantiasa berada dalam ancaman, ketidaknyamanan, ketakutan, dalam kehidupan sehari-harinya. Ini pun akan berdampak dalam kehidupan di luar. Anak tidak mudah bergaul karena merasa takut dan was-was, serta merasa rendah diri.

  1. Pembebanan Tugas yang Tidak Sesuai

Ketidakpercayaan diri anak bisa muncul jika anak mendapat beban tugas yang sebenarnya belum sanggup dipikulnya. Ibarat seorang anak SD diberi soal ujian mahasiswa, maka si anak hanya akan merasa gagal dan tidak mampu. Padahal memang kemampuannya belum sampai ke sana.

  1. Pengaruh Fisik anak

Adanya bentuk tubuh yang ‘tidak normal’ dan berbeda dari anak lain, biasanya mengundang cemooh dan ejekan dari teman-temannya. Hal ini tentu membuat anak takut untuk bertemu orang lain, karena perasaan minder yang muncul perlahan. (Siedoo)

Apa Tanggapan Anda ?