Siedoo, PENGGUNAAN bahasa yang baik dan benar seharusnya tidak hanya dilakukan di sekolah atau lingkungan akademis lainnya. Tulisan di ruang publik, baik itu berupa imbauan, larangan, nama perumahan, maupun menu makanan, semestinya juga menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Namun, di ruang-ruang publik masih banyak dijumpai tulisan yang tidak masuk akal. Imbauan, seperti yang membawa ponsel, harap dimatikan atau yang merokok, harap dimatikan tetap saja ada. Meskipun itu telah menjadi bahan olok-olokan para akademisi dan pemerhati bahasa sejak lama.
Belum lagi, serbuan istilah pada sebagian orang yang obsesif dengan segala hal yang berbau asing hingga nasi goreng pun menjelma menjadi fried rice atau jus jeruk menjadi orange juice.
Jangan bermimpi seperti di Jepang yang ruang publiknya bersih dari bahasa asing, karena faktanya kita seperti di negeri asing yang dikelilingi istilah asing di negeri sendiri. Sudah ada undang-undang tentang wajibnya penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Namun hal itu pun berlalu begitu saja.
Tidak ada sanksi bagi pelanggar dan tidak ada pula upaya yang diteladankan oleh para pemimpin. Pada akhirnya, kita sendirilah yang memilih dan menentukan bagaimana sebaiknya kita berbahasa.
Dengan seluruh fenomena permasalahan bahasa di negeri ini, semestinyalah penyuluhan kemahiran berbahasa tetap dilakukan. Tak berhenti hanya pada pengajar bahasa, namun juga pemilik usaha yang membuat iklan serta pemegang kebijakan yang memasang slogan.
Semua perlu hadir pada saat forum penyuluhan kebahasaan diadakan. Tidak masalah apakah mereka mahir dalam kalimat efektif maupun membuat puisi yang menarik atau tidak, yang jelas sudah sepatutnya mereka menyadari imbauan yang membawa ponsel, harap dimatikan adalah salah.
Sudah waktunya kita benar-benar menjunjung bahasa Indonesia lebih dari bahasa asing. Seperti yang telah bertahun-tahun lalu diikrarkan pemuda pendahulu kita.
Balai Bahasa Jawa Tengah telah lama melakukan penyuluhan kebahasaan pada guru-guru nonbahasa meskipun tidak mudah bagi para narasumber memaparkan materi bahasa dan sastra di hadapan mereka. Dari pemilihan serta penyampaian materi hingga peserta yang kurang antusias, kadang menjadi kendala. Namun, penyuluhan tetap harus dilakukan.
Kemahiran berbahasa Indonesia bukan hanya untuk guru pengajar bahasa, tetapi juga untuk guru nonbahasa, pelaku bisnis, pemroduksi teks, serta masyarakat umum lainnya. Apalagi di era milenia ini, hampir semua orang menggunakan tulisan dalam berkomunikasi.
Telah banyak orang yang ‘tergelincir’ karena lisan atau tulisan mereka di media sosial. Dengan demikian, apakah ada alasan lagi untuk tidak belajar bahasa Indonesia dengan lebih baik?
Siedoo/NSK/Sumber:Balai Bahasa Jawa Tengah