Siedoo, IQRO’ atau bacalah adalah ayat pertama kali yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, di awal kenabian, melalui malaikat Jibril. Perintah pertama kali yaitu diminta untuk membaca. Bacalah!
Secara hakiki, membaca merupakan landasan keilmuan umat manusia. Dengan membaca bisa mengetahui sesuatu yang belum diketahui, dengan membaca bisa melepas kebodohan.
Dalam kancah dunia maupun dengan negara tetangga, level baca penduduk di Indonesia berada di titik bontot. Ini tidak menggemberikan. Memalukan?
Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan Central Connecticut State Univesity, Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara (kompas.com). Di tahun ini, karena belum ada studi terbaru, sepertinya masih belum beranjak dari angka itu. Kalau beranjak pun paling beranjak ke satu angka lebih kecil. Itu juga tetap masih menyedihkan.
Belum lagi di tingkat ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations), berdasarkan hasil survei UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menunjukkan bahwa minat baca masyarakat di Indonesia paling rendah (wartaonline).
Rendahnya minat baca ini dibuktikan dengan indeks membaca baru sekitar 0,001. Artinya dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Bila jumlah penduduk di Indonesia saat ini 225 juta jiwa, maka terdapat 255 ribu orang yang suka membaca.
Taufik Ismail pernah membandingkan budaya baca di kalangan pelajar Indonesia dengan negara-negara lainnya. Rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, di Rusia 12 buku, di Jepang 15 buku, di Brunaidarussalam 7 buku, di Singapura 6 buku, di Malaysia 6 buku. Sedangkan di Indonesia 0 buku. Ia menyebut kondisi ini dengan “Tragedi nol buku”.
Coba kita menengok negara Jerman. Menurut riset yang dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Cental Connecticut State University, New Britain, yang secara resmi dirilis The Word’s Most Literate Nations (WMLN) pada tahun 2016, negera Jerman menempati urutan ke 8 tentang literasi.
Di negara penemu mesin cetak itu, 53 persen orang jerman membeli buku untuk keperluan pribadi, dan 38 persen membeli buku untuk dihadiahkan untuk orang lain.
Bagaimana dengan di Jepang? Di negeri sakura ini 99 persen penduduknya yang berusia 15 tahun ke atas sudah melek huruf. Ini mengindikasikan masyarakat di sana suka membaca. Dari berbagai literatur yang ada meski di tempat transportasi umum, penduduk Jepang tidak malu membaca. Kalau di Indonesia? Silahkan amati sendiri.
Di Jepang juga ada tradisi membaca buku 10 menit sebelum masuk kelas. Termasuk “Budaya Tachiyomi” membaca gratis di toko buku sambil berdiri. Biasanya di sana, kalau ada buku baru yang masih disegel plastik sebagian tetap dibuka, agar menarik untuk dibaca.
Dengan perbandingan beberapa negara tersebut, setidaknya kita bisa mengevaluasi diri sendiri, termasuk bagi penulis. Sudah barang tentu, dengan rendahnya minat baca tersebut bisa menghambat pembangunan bangsa.
Di zaman now seperti sekarang ini bila tidak memiliki daya baca yang tinggi tentu dalam memahami, menguasai menggunakan ilmu pengetahuan serta teknologi akan ada masalah. Ini bisa menjadi penyebab bangsa kita tertinggal dari negara-negara lain.
Tingkat baca yang rendah menjadikan manusia minim dalam berkreatifitas, tidak berkembang alias monoton atau stagnan. Doktrin-doktrin apapun bisa diterima mentah-mentah, tanpa adanya filter.
Tidak membaca akan memiliki wawasan yang kerdil. Kehidupannya cenderung akan mengalami kesulitan pada kehidupan sosial. Dia akan lebih mementingkan kehidupan sendiri. Pergaulan sempit. Enggan diajak berdiskusi.
Yang memprihatinkan bila minat baca generasi muda Indonesia rendah. Ini menjadi kerugian negera. Karena bagaimanapun, tidak dapat terelakkan, genersi muda adalah aset bangsa. Masa depan bangsa Indonesia ke depan, 25 tahun mendatang, ditentukan generasi muda saat ini.
Dalam menggunggah minat baca masyarakat Indonesia perlu kerjasama semua pihak. Yang paling penting adalah adanya kesadaran dalam membaca. Kesadaran ini bisa digugah lewat berbagai hal, di jamaah pengajian, di forum-forum tertentu, di tempat kerja, di lingkungan RT, di dunia sekolah, pondok pesantren dan lainnya. Cara efektif menggugah kesadaran adalah lewat dialog.
Misal dalam dunia pendidikan formal, siswa-siswi yang duduk di tingkat sekolah dasar perlu dibudayakan membaca sejak dini. Yang masih duduk di PAUD atau TK perlu dikenalkan dengan buku. Tak menjadi soal bila mengadopsi yang dilakukan bangsa lain. Yang penting budaya literasi, budaya membaca anak bangsa ini bisa tumbuh.
Membaca juga perlu adanya sebuah kesempatan. Kesempatan terkait dengan waktu. Di tingkat struktur pemerintahan terendah, tingkat RT/RW perlu adanya kebijakan. Misal dihari tertentu, warga wajib berkumpul untuk membaca buku apapun.
Membaca juga butuh adanya sarana atau fasilitas. Yang utama adalah perpusatakaan. Warga bisa bergotong royong dalam mendirikannya. Patungan buku apapun tidak masalah.
Kini pemerintah pun telah memberi kebijakan, agar warga bisa mendirikan perpustakaan. Terutama di tingkat desa. Pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memperbolehkan menggunakan dana desa untuk pengembangan perpustakaan. Dasarnya adalah Permendes No 19 Tahun 2015.
Kemendes PDTT dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) juga telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman untuk mengatasi rendahnya tingkat literasi di perdesaan.
Kesempatan dana desa untuk bisa digunakan untuk membeli koleksi buku-buku di perpustakaan desa ini membuka ruang bahwa desa-desa di pelosok bisa memiliki buku yang bisa dinikmati penduduknya. Di Indonesia ada 74.754 desa (Permendagri No 56 Tahun 2015).
Ini akan mengurangi kesenjangan, bahwa perpustakaan bukan hanya ada di perkotaan saja. Tetapi juga di desa. Kini tinggal bagaimana pemerintah desa menyikapinya. Menangkap peluang tersebut atau tidak.
Dukungan dana desa pun besar, Rp 100 jutaan per tahun. Sangat bisa kalau disisihkan kalau untuk membeli buku. Pembangunan sumber daya manusia sangat penting. Semoga bisa ditangkap dan direaliasikan dalam meningkatkan budaya literasi bangsa Indonesia. Selamat Hari Buku Nasional.